KEMUNDURAN BANI ABBASIYAH
Bani Abbasiyah atau Kekhalifahan Abbasiyah adalah
kekhalifahan Islam kedua yang berkuasa di Baghdad (sekarang ibu kota Irak). Kekhalifahan ini berkembang pesat dan menjadikan Dunia
Islam sebagai pusat ilmu pengetahuan. Kekhalifahan ini berkuasa setelah
kemenangannya dari Bani Umayyah dan menundukkan semua wilayahnya kecuali
Andalusia. Bani Abbasiyah adalah keturunan paman Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam yang termuda, yaitu Abbas bin Abdul Muththalib. Oleh
karena itu, mereka juga termasuk Bani Hasyim. Kekhilafahan ini berkuasa mulai
tahun 750 M dan memindahkan ibukota dari Dmaskus ke Baghdad. Meskipun
berkembang selama dua abad, tetapi perlahan meredup setelah naiknya bangsa
Turki yang sebelumnya merupakan bagian dari tentara kekhalifahan yang mereka
bentuk, dan dikenal dengan sebutan Mamluk. Selama 150 tahun berkuasa,
kekhalifahan dipaksa untuk menyerahkan kekuasaan kepada dinasti-dinasti
setempat, yang sering disebut amir atau sultan. Menyerahkan Andalusia kepada
keturunan Bani Umayyah, Marocco dan Afrika keada Aghlabid dan Fathimiyyah.
Kejatuhan totalnya pada tahun 1258 M disebabkan serangan bangsa Mongol yang
dipimpin Hulaghu Khan yang menghancurkan Baghdad dan tak menyisakan sedikit pun
dari pengetahuan yang dihimpun di perpustakaan Baghdad.
Bani Abbasiyah berhasil memegang
kekuasan kekhalifahan selama tiga abad, mengonsolidasikan kembali kepemimpinan
gaya Islam dan menyuburkan ilmu pengetahuan dan pengembangan budaya Timur
Tengah. Tetapi pada tahun 940 M kekuatan kekhalifahan menyusut ketika
orang-orang non-Arab, khususnya bangsa Turki (kemudian diikuti oleh Mamluk di
Mesir pada pertengahan abad ke-13), mulai mendapatkan pengaruh dan mulai
memisahkan diri dari kekhalifahan. Khilafah Abbasiyah merupakan kelanjutan dari
khilafah sebelumnya dari Bani Umayyah. Pendiri khilafah
Abbasiyah adalah Abdullah al-Saffah bin Muhammad bin Ali bin Abdullah bin
al-Abbas. Pola pemerintahan yang diterapkan oleh Daulah Abbasiyah berbeda-beda
sesuai dengan perubahan politik, sosial, dan budaya. Kekuasaannya berlangsung
dalam rentang waktu yang panjang, dari tahun 132 H (750 M) s.d. 656 H (1258 M).
Banyak faktor lain yang menyebabkan khilafah Abbasiyah
menjadi mundur, masing-masing faktor tersebut saling berkaitan satu sama lain.
Beberapa diantaranya adalah sebagai berikut :
Ø Perebutan Kekuasaan di Pusat Pemerintahan
Khalifah Abbasiyah didirikan oleh Banni Abbas yang
bersekutu dengan orang-orang Persia. Persekutuan yang dilatar belakangi oleh
persamaan nasib kedua golongan itu pada masa Bani Umayyah berkuasa. Keduanya
sama-sama tertindas. Setelah khilafah Abbasiyah berdiri, dinasti Bani Abbas
tetap mempertahankan persekutuan itu. Menurut Ibnu Khasldun, ada dua sebab
dinasti Bani Abbas memilih orang-orang Persia dari pada orang-orang Arab.
Pertama, sulit bagi orang-orang Arab untuk melupakan Bani Umayyah. Pada masa
itu mereka merupakan warga kelas satu. Kedua, orang-orang Arab sendiri terpecah
belah dengan adanya ashabiyah (kesukuan). Dengan demikian, khilafah Abbasiyah
tidak ditegakkan di atas ashabiyah tradisional.[1]
Meskipun demikian, orang-orang Persia tidak
merasa puas. Mereka menginginkan sebuah dinasti dengan raja dan pegawai dari
Persia pula. Sementara itu bangsa Arab beranggapan bahwa darah yang mengalir di
tubuh mereka adalah darah (ras) istimewa dan mereka menganggap rendah bangsa
non-Arab ('ajam) di dunia Islam.
Fanatisme kebangsaan ini nampaknya dibiarkan
berkembang oleh penguasa. Sementara itu, para khalifah menjalankan sistem
perbudakan baru. Budak-budak bangsa Persia
atau Turki dijadikan pegawai dan tentara.
Sementara itu, Khalifah Al-Mu’tashim (218-227 H) memberi peluang besar kepada bangsa Turki
untuk masuk dalam pemerintahan. Mereka di diangkat menjadi orang-orang penting
di pemerintahan, diberi istana dan rumah dalam kota untuk menguasai tempat yang
mereka diami . [2]
Setelah
Khalifah Al-Mutawakkil (232-247 H), pemerintahan didominasi oleh tentara
Turki. Seorang Khalifah yang lemah, menjdi naik tahta, mereka dapat menentukan
siapa yang diangkat jadi Khalifah. Sejak itu kekuasaan Bani Abbas sebenarnya
telah berakhir. Kekuasaan berada di tangan orang-orang Turki. Posisi ini
kemudian direbut oleh Bani Buwaih, bangsa Persia. pada periode ketiga
(334-447), dan selanjutnya beralih kepaa Dinasti Seljuk, yaitu bangsa Turki
pada periode keempat (447-590H).
Ø Munculnya Dinasti-Dinasti Kecil Yang Memerdekakan Diri
Wilayah kekuasaan Abbasiyah pada periode pertama
hingga masa keruntuhan sangat luas, meliputi
berbagai bangsa yang berbeda, seperti Maroko, Mesir, Syiria, Irak, Persia,
Turki , India. Walaupun
kenyataannya banyak daerah yang tidak dikuasai oleh Khalifah, secara riil,
daerah-daerah itu berada di bawah kekuasaaan gubernur-gubernur yang
bersangkutan. Hubungan dengan Khalifah hanya ditandai dengan pembayaran upeti.
Ada kemungkinan penguasa Bani Abbas sudah cukup puas
dengan pengakuan nominal, dengan pembayaran upeti. Alasannya, karena Khalifah
tidak cukup kuat untuk membuat mereka tunduk, tingkat saling percaya di kalangan
penguasa dan pelaksana pemerintahan sangat rendah dan juga para penguasa
Abbasiyah lebih menitik beratkan pembinaan peradaban dan kebudayaan daripada
politik dan ekspansi. Selain itu, penyebab utama mengapa banyak daerah
yang memerdekakan diri adalah terjadinya kekacauan atau perebutan kekuasaan di
pemerintahan pusat yang dilakukan oleh bangsa Persia dan Turki.
Akibatnya propinsi-propinsi tertentu di pinggiran
mulai lepas dari genggaman penguasa Bani Abbas. [3]
Ø Kemerosotan Perekonomian
Pada periode pertama, pemerintahan Bani Abbas
merupakan pemerintahan yang kaya. Dana yang masuk lebih besar dari yang keluar,
sehingga Baitul Mal penuh dengan harta. Perekonomian masyarakat sangat maju
terutama dalam bidang pertanian, perdagangan dan industri. Tetapi setelah
memasuki masa kemunduran politik, perekonomian pun ikut mengalami kemunduran
yang drastis. Setelah khilafah memasuki periode kemunduran ini, pendapatan
negara menurun sementara pengeluaran meningkat lebih besar. Menurunnya
pendapatan negara itu disebabkan semakin sempitnya wilayah kekuasaan, banyak
terjadi kerusuhan yang mengganggu perekonomian rakyat. Diperingannya pajak dan
banyaknya dinasti-dinasti kecil yang memerdekakan diri dan tidak lagi membayar
upeti.
Sedangkan
pengeluaran membengkak karena disebabkan oleh kehidupan para khalifah dan
pejabat semakin mewah. jenis pengeluaran makin beragam dan para pejabat
melakukan korupsi.
Kondisi politik yang tidak stabil menyebabkan
perekonomian negara morat-marit. Sebaliknya, kondisi ekonomi yang buruk memperlemah
kekuatan politik dinasti Abbasiyah, faktor ini saling berkaitan dan tak
terpisahkan.[4]
Ø Munculnya Aliran-Aliran Sesat dan Fanatisme Keagamaan
Karena cita-cita orang Persia tidak sepenuhnya
tercapai untuk menjadi penguasa, maka kekecewaan itu mendorong sebagian mereka
mempropagandakan ajaran Manuisme,Zoroasterisme dan Mazdakisme. Munculnya gerakan yang dikenal dengan gerakan
Zindiq ini menggoda rasa keimanan para khalifah.
Khalifah Al-Manshur yang berusaha keras
memberantasnya, beliau juga memerangi Khawarij yang mendirikan Negara
Shafariyah di Sajalmasah pada tahun 140 H. Setelah Al Manshur wafat
digantikan oleh putranya Al-Mahdi
yang lebih keras dalam memerangi orang-orang Zindiq bahkan beliau
mendirikan jawatan khusus untuk mengawasi kegiatan mereka serta melakukan Mihnah dengan tujuan
memberantas bid’ah. Akan tetapi, semua itu tidak menghentikan kegiatan mereka.
Konflik antara kaum beriman dengan golongan Zindiq berlanjut mulai dari bentuk yang sangat
sederhana seperti polemik tentang ajaran, sampai kepada konflik bersenjata yang
menumpahkan darah di kedua belah pihak. Gerakan Al-Afsyin dan Qaramithah adalah
contoh konflik bersenjata itu.
Pada saat gerakan ini mulai
tersudut, pendukungnya banyak berlindung di balik ajaran Syi’ah, sehingga
banyak aliran Syi’ah yang dipandang
ghulat (ekstrim) dan dianggap menyimpang oleh penganut syi’ah sendiri. Aliran syi’ah memang dikenal sebagai aliran politik
dalam Islam yang berhadapan dengan paham Ahlussunnah. Antara keduanya
sering terjadi konflik yang kadang-kadang juga melibatkan penguasa. Al-Mutawakil misalnya, memerintahkan agar makam Husein ibn Ali di Karballa dihancurkan.[5]
Namun anaknya, Al-Muntashir (861-862 M.), kembali
memperkenankan orang syi’ah "menziarahi" makam Husein tersebut. Syi’ah pernah berkuasa di dalam
khilafah Abbasiyah melalui Bani Buwaih lebih dari seratus tahun. Dinasti Abbasiyah di Maroko dan khalifah Fathimiyah di Mesir adalah dua
dinasti syi’ah yang memerdekakan diri dari Baghdad
dan Sunni.
Selain itu terjadi juga konflik
dengan aliran Islam lainnya seperti perselisihan antara Ahlusunnah dengan
Mu'tazilah, yang dipertajam oleh Al-Makmun, khalifah ketujuh dinasti Abbasiyah
(813-833 M), dengan menjadikan Mu’tazilah sebagai mazhab resmi negara dan
melakukan mihnah. Pada masa Al-Mutawakil (847-861 M), aliraan
Mu’tazilah dibatalkan sebagai aliran negara dan golongan ahlusunnah kembali
naik daun. Aliran Mu’tazilah bangkit kembali pada masa Bani Buwaih. Namun
pada masa dinasti seljuk yang menganut paham Asy-‘ariyah penyingkiran
golongan Mu’tazilah mulai dilakukan secara sistematis. Dengan didukung
penguasa, aliran Asy-‘ariyah tumbuh subur dan berjaya. [6]
Selain yang disebutkan diatas, yang merupakan
faktor-faktor internal kemunduran dan kehancuran Khilafah bani Abbas. Ada pula
faktor-faktor eksternal yang menyebabkan khilafah Abbasiyah lemah dan akhirnya
hancur.
Ø Perang Salib
Kekalahan tentara Romawi telah menanamkan benih
permusuhan dan kebencian orang-orang kristen terhadap ummat Islam. Kebencian
itu bertambah setelah Dinasti Saljuk
menguasai Baitul Maqdis menerapkan beberapa peraturan yang dirasakan
sangat menyulitkan orang-orang Kristen yang ingin berziarah kesana. Oleh karena
itu pada tahun 1095 M, Paus Urbanus II menyerukan kepada ummat kristen Eropa
untuk melakukan perang suci, yang kemudian dikenal dengan nama Perang Salib.
Perang salib yang berlangsung dalam beberapa
gelombang atau periode telah banyak menelan korban dan menguasai beberapa
wilaya Islam. Setelah melakukan peperangan antara tahun 1097-1124 M mereka
berhasil menguasai Nicea, Edessa, Baitul Maqdis, Akka, Tripoli dan kota Tyre. [7]
Ø Serangan Mongolia ke Negeri Muslim dan Berakhirnya
Dinasti Abbasiyah
Orang-orang Mongolia adalah bangsa yang berasal dari
Asia Tengah. Sebuah kawasan terjauh di China. Terdiri dari kabilah-kabilah yang
kemudian disatukan oleh Jenghis Khan (603-624 H).
Sebagai awal penghancuran Bagdad dan Khilafah Islam,
orang-orang Mongolia menguasai negeri-negeri Asia Tengah Khurasan dan Persia
dan juga menguasai Asia Kecil. Pada bulan September 1257, Hulagu
mengirimkan ultimatum kepada Khalifah agar menyerah dan mendesak agar tembok
kota sebelah luar diruntuhkan. Tetapi Khalifah tetap enggan memberikan jawaban.
Maka pada Januari 1258, Hulagu khan menghancurkan tembok
ibukota. Sementara itu Khalifah al-Mu’tashim langsung menyerah dan
berangkat ke base pasukan mongolia. Setelah itu para pemimpin dan fuqaha juga
keluar, sepuluh hari kemudian mereka semua dieksekusi. Dan Hulagu beserta
pasukannya menghancurkan kota Baghdad dan membakarnya. Pembunuhan berlangsung
selama 40 hari dengan jumlah korban sekitar dua juta orang. Dan Dengan
terbunuhnya Khalifah al-Mu’tashim telah menandai babak akhir dari Dinasti
Abbasiyah.[8]
[1] Dr
Badri Yatim MA, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2008). Hal. 6
[2] Muh. Nurhakim, Sejarah & Peradaban Islam,
(Malang: UMM Press, 2004), Hal. 70
[3] W. Montgomery
Watt, Kejayaan Islam: Kajian Kritis Dari Tokoh Orientalis, (Yogyakarta: Tiara
Wacana, 1990), Hal. 165-166
[4]
Dedi Supriyadi, M. Ag, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: CV Pustaka Setia,
2008). Hal. 140
[5] Dr
Badri Yatim MA, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2008). Hal. 63
[6] Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam,
(Jakarta: Amzah, 2009). Hal. 156-157
[7]
Muh. Nurhakim, Sejarah & Peradaban Islam, (Malang: UMM Press, 2004), Hal.
74
[8] Muh. Nurhakim, Sejarah & Peradaban Islam,
(Malang: UMM Press, 2004), Hal. 72
Klik Dibawah Ini Untuk Menambah Wawasan Anda
Baca Juga Yang Ini, Seru Loo!!
إرسال تعليق