SEJARAH PERANG UHUD
Pengalaman
pahit yang dirasakan oleh kaum Quraisy dalam perang Badar telah menyisakan luka
mendalam nan menyakitkan. Betapa tidak, walaupun jumlah mereka jauh lebih besar
dan perlengkapan perang mereka lebih memadai, namun teryata. Mereka harus
menanggung kerugian materi yang tidak sedikit.
yang lebih menyakitkan mereka adalah hilangnya
para tokoh mereka. Rasa sakit ini, ditambah lagi dengan tekad untuk
mengembalikan pamor Suku Quraisy yang telah terkoyak dalam Perang Badar,
mendorong mereka melakukan aksi balas dendam terhadap kaum Muslimin. Sehingga
terjadilah beberapa peperangan setelah Perang Badar. Perang Uhud termasuk di
antara peperangan dahsyat yang terjadi akibat api dendam ini. Disebut perang
Uhud karena perang ini berkecamuk di dekat gunung Uhud. Sebuah gunung dengan
ketinggian 128 meter kala itu, sedangkan sekarang ketinggiannya hanya 121
meter. Bukit ini berada di sebelah utara Madinah dengan jarak 5,5 km dari
Masjid Nabawi.
Kejadian Perang Uhud
Sejak
terjadinya perang badr pihak Quraisy sudah tidak pernah tenang lagi. Juga
peristiwa Sawiq tidak membawa keuntungan apa-apa buat mereka. Lebih-lebih
karena kesatuann Zaid in harits telah berhasil mengambil perdagangan mereka
ketika mereka hendak pergi ke Syam melalui
jalan Irak. Hal ini mengingatkan mereka pada korban-korban Badr dan menambah
besar keinginan mereka hendak membalas dendam. Bagaimana Quraisy hendak
meelupakan peristiwa itu, sedang mereka adalah bangsawan-bangsawan dan
pemimpin-pemimpin Makkah, pembesar-pembesar yang angkuh dan memiiki kedudukan
terhormat. Bagaimana mereka akan dapat melupakannya, padahal wanita-wanit
Mekkah selalu ingat akan korban-korban yang terdiri dari anak, atau saudara,
bapak, suami atau teman sejawat, Mereka selalu berkabung, selalu menangisi dan
meratapi.[1]
Orang-orang
Quraisy kemudian sepakat menyiapkan angkatan perang guna memerangi Muhammad,
dengan memperbesar jumlah dan perlengkapannya. Selanjutnya tenaga
kabilah-kabilah akan dikerahkan dan agar ikut serta bersama mereka, menuntut
balas terhadap kaum Muslimin. Tak hanya kaum pria, pihak Quraisy juga membawa
pula kaum wanita mereka, dipimpin oleh Hindun, istri Abu Sufyan. Dialah orang yang paling panas
hati ingin membalas dendam, karena dalam peristiwa Badr itu orang-orang yang di
cintainya telah terbunuh. Keberangkatan Quraisy dengan tujuan Madinah yang
disiapkan dari Dar’n-Nadwa itu terdiri dari tiga Brigade. Brigade terbesar
dipimpin oleh Talha b. Abi Talha terdiri
dari 3000 orang. Kecuali 100 orang saja dari Thaqif selebihnya semua dari
makkah, dengan 200 pasukan berkuda dan 3000 unta, di antaranya 700 orang
berbaju besi dan selebihnya dari barisan berjalan kaki. Masing-masing dibekali
persenjataan dan persediaan perang yang amat lengkap dan sempurna.[2]
Setelah
genap setahun, persiapan mereka benar-benar
sudah matang, pasukan Makkah mulai bergerak menuju Madinah. Hati mereka
bergejolak karena dendam kusumat an kebencian yang ditahan-tahan sekian lama,
siap diledakkan dalam peperangan yang dahsyat.[3]
Al-Abbas
bin Abdul Mutholib yang masih menetap di Makkah terus memata-matai setiap
tindakan Quraisy dan persiapan militer mereka, Setelah pasukan berangkat, maka
Al-Abbas mengirim kabar surat kilat kepada Nabi Muhammad, berupa kabar secara
rinci tentang pasukan Quraisy.
Secepat
kilat utusan Al-Abbas pergi menyampaikan surat, Dia menyertakan surat itu
tatkala beliau berada di masjid Quba’.Beliau menyuruh Ubay bin Ka’b untuk
membacakan surat tersebut dan memerintahkan untuk merahasiakannya. Seketika
itu pula beliau pergi ke Madinah, lalu mengadakan musyawarah dengan para pemuka
muhajirin dan anshar. Madinah dalam keadaan siaga satu. Tak seorang
pun lepas dari senjatanya. Sekalipun sedang sholat mereka tetap dalam keadaan
siaga untuk menghadapi segala kemungkinan yang bakal terjadi. Ada sekumpulan Ansharr, seperti Sa’d bin
Mu’adz, Usaid bin Hudhair dan Sa’d bin Ubadah yang senantiasa menjaga Raulullah
mereka selalu berada di dekat pintu rumah beliau..
Pasukan
Makkah meneruskan perjalanan, mengambil jalur utama ke arah barat menuju
Madinah. Setiba
di Abwa’, Hindun bin Uthbah, istri Abu Sufyan mengusulkan untuk menggali
kuburan ibunda Rasulullah. Namun para komandan pasukan Quraisy menolak usulan
ini. Kali ini mereka bersikap sangat hati-hati terhadap akibat yang harus
dihadapi jika mereka berbuat seperti itu. Maka
pasukan melanjutkan perjalan hingga mendekati Madinah. Mereka melewati Wadi
Al-Aqiq, lalu membelok ke arah kanan hingga tiba di dekat bukit Uhud, di suatu
tempat disebut Ainain, di sebelah utara madinah. Pasukan
Quraisy mengambil tempat di sana pada hari jum’at tanggal 6 syawwal 3 H.
Kabar
tentang pasukan Makkah sampaikan
terus-menerus di sampaikan mata-mata, termasuk kabar terakhir tentang tempat
yang diambil pasukan Makkah. Saat itu Rasulullah sedang menggelar masjid
permusyawaratan Militer, untuk menampung berbagai pendapat dan menetapkan
sikap. Dalam kesempatan itu beliau juga menceritakan mimpi yang dialaminya.
Beliau bersabda,’’Demi Allah, aku telah bermimipi bagus. Dalam mimpi itu
kulihat beberapa ekor lembu yang yang disembelih, kulihat di mata pedangku
rompal dan aku memasukkan tanganku ke dalam baju besi yang kokoh.
Beberapa
ekor sapi itu dita’wali dengan beberapa orang para sahabat yang terbunuh, mata
pedang beliau yang rompal dita’wili dengan anggota keluarga beliau yang
tertimpa musibah dan baju besi dita’wili dengan madinah.
Dengan
mimpinya itu beliau mengusulkan kepada para sahabat agar tidak perlu keluar
dari madinah, cukup bertahan di madinah. Jika orang-orang musyrik ingin tetap
bertahan di luar madinah tanpa mau melakukan serangan, biarlah mereka masuk ke
madinah, maka orang-orang Muslim akan menyerbu mereka dari mulut-mulut gang dan
para wanita melancarkan serangan dari atap-atap rumah. Inilah pendapat yang di
sampaikan. Abdullah bin Ubay sangat menyetujui pendapat ini, yang saat itu dia
juga ikut hadir dalam Majlis permusyawaratan sebagai wakil dari pemuka Khazraj.
Dia menyetujui pendapat ini bukan karna faktor strategi perang, tetapi agar
memungkinkan baginya untuk menjauhi peperangan tanpa mencolok mata dan dia bisa
menyelinap tanpa di ketahui seorang pun. Namun Allah berkeinginan melecehkan dirinya dan
rekan-rekannya di hadapan orang-orang muslim untuk pertama kalinya, dan
menyingkap tabir yang di belakangnya ada kekufuran dan kemunafikan. Sehingga
dalam kondisi yang sangat rawan itu orang-orang muslim bisa mengetahui
ular-ular berbisa yang menyelinap di balik kesamar-samaran.
Sekumpulan
para sahabat yang tidak ikut serta dalam perang Badr sebelumnya, mengusulkan
kepada Nabi agar keluar dari Madinah. Bahkan mereka sangat ngotot dengan
usulannya ini, sehingga ada di antara mereka yang berkata, “Wahai Rosulullah,
sejak dulu kami sudah mengharapkan hari seperti ini dan kami selalu berdo’a
kepada Allah. Dia sudah menuntun kami dan tempat yang dituju sudah dekat.
Keluarlah untuk menghadapi musuh kita, agar mereka tidak menganggap kita takut
pada mereka.”
Di
antara tokoh kelompok yang sangat berantusias ini adalah Hamzah bin Abdul
Muthalib, yang pada perang Badr dia hanya menggantungkan pedangnya. Dia berkata
kepada Beliau, “Demi yang menurunkan Ahli Kitab kepada engkau, aku tidak akan
memberi makanan sehingga membabat mereka dengan pedangku di luar Madinah.”
Rasulullah
mengabaikan pendapat Beliau sendiri karena mengikuti pendapat mayoritas. Maka
di tetapkan untuk keluar dari Madinah dan bertempur di tempat terbuka.[4]Nabi
mendirikan sholat jum’at dengan orang-orang muslim, sesudah sholat jum’at
Rasulullah memberi kabar gembira bahwa kemenangan, Insyaallah, akan datang,
asal saja mereka berjuang sungguh-sungguh dan sabar. Kaum muslimin pun di
kerahkan bersiap dan Rasul sendiri masuk ke dalam rumahnya mengenakan baju
besinya.
Tetapi
sementara Rasul sedang berpakaian, rupanya, soal keluar atau tidak itu kembai
di perkatakan. Sebagian di antaranya, Usaid bi Hudlair dan Sa’d bin Mu’az,
menyesali mereka yang begitu keras meminta keluar sehingga Rasul sendiri
terpaksa menurutkan; walaupun beliau sendiri berpendapat sebaiknya. Sebab itu,
menurut usul Usaid bin Sa’d, supaya hal ini di pulangkan saja kembali kepada
pilihan dan keputusan Rasulullah.
Perkataan
atau usul Usaid dan Sa’d ini termasuk di dalam pikiran para sahabat semuanya,
malah bagian dari mereka meyesal dan merasa jangan-jangan tuntutan mereka
seperti itu hanya menyebabkan mereka berdosa atau durhaka. Oleh karena itu
tatkala Rasul keluar dengan mengenakan baju besinya dan menyandang pedangnya
mereka lalu memohon dan berkata: “Hai Rasulullah, kami tidak hendak membantah
keinginanmu dan tidak pula memaksa engkau melakukan sesuatu yang bertentangan dengan
kehendakmu sendiri: hal ini kami pulangkan kepada engkau kembali, kepada Allah
dan Rasulnya tetapkanlah apa yang kau lihat baik; dan kami semua akan turut dan
taat !” “Sudah ku nyatakan pertimbanganku, jawab Rasul dengan tenang, seorang
nabi apabila telah mengenakan baju besinya dan menyandang pedangnya, tidak
harus menanggalkannya lagi sampai Allah memberikan putusannya; sekarang
perhatikan saja segala yang saya perintahkan dengan demikian, insyaallah,
kemenangan di pihak kita, asal kamu semua tahan dan sabar !’’[5]
Didalam
tindakan Rasulullah ini sesungguhnya terkandung suri pengajaran yang sangat
tinggi sebagai pedoman hidup bermusyawarat. Apabila sesuatu masalah yang di
bahas telah di terima dengan suara terbanyak, maka hal itu tak dapat di
batalkan oleh sesuatu keinginan atau karena ada maksut tertentu. Sebaliknya ia
harus dilaksanakan, tapi orang yang akan melaksanakannya harus pula dengan cara
yang sebaik-baiknya dan diarahkan ke suatu sasaran yang akan mencapai sukses.
Sekarang
Muhammad berangkat memimpin kaum Muslimin menuju Uhud. Di syaikhan ia berhenti.
Dilihatnya di tempat itu ada sepasukan tentara yang identitasnya belum dikenal.
Ketika ditanyakan, kemudian di peroleh keterangan bahwa mereka itu orang-orang
yahudi sekutu Abdullah bin Ubay. Lalu kata Nabi, “jangan minta pertolongan
orang-orang musyrik dalam melawan orang musyrik, sebelum mereka masuk Islam.
Dalam pada itu orang-orang yahudi pun kembali
ke madinah. Lalu kata sekutu Ibn ubayy itu: “Kau sudah menasehatinya dan sudah
kau berikan pendapatmu berdasaran pengalaman orang-orang tua dahulu. Sebenarnya
dia sependapat dengan kau. Lalu dia menolak dan menuruti kehendak pemuda-pemuda
yang menjadi pengikutnya.’’
Ia berbalik menggabungkan
diri dengan pasukan teman-temannya itu, Tinggal lagi Nabi dengan orang-orang
yang benar-benar beriman, yang berjumlah 700 orang, akan berperang menghadapi
3000 orang terdiri ari orang-orang Quraisy Makkah, yang kesemuanya sudah
memikul dendam yang tak terpenuhi ketika
di Badr.
[1] Muhammad
Zakariya, Ta’lim fadhail a’maal. (cirebon: Pustaka Nabawi,1993 ) hlm.
286.
[3] Syaikh
Shafiyyur Rahman Al-Mubarakfury,Sirah Nabawi.(jakarta timur; Pustaka
Al-Kautsar,2009) hlm. 281.
[4] Ibid hlm.283
[5] H.
Rus’an, Lintasan Sejarah Islam. (Singapura; Pustaka Nasional Pte Ltd
Suite,1982) hlm. 140
Klik Dibawah Ini Untuk Menambah Wawasan Anda
Baca Juga Yang Ini, Seru Loo!!
إرسال تعليق