SEJARAH
PIAGAM MADINAH
Pada
dasarnya, alur perjalanan Sejarah Islam yang panjang itu bermula dari turunnya
wahyu di Gua Hira’.
Sejak itulah nilai-nilai kemanusiaan yang di bawah bimbingan Wahyu Ilahi menerobos arogansi kultur
jahiliyah, merombak dan membenahi adat istiadat budaya jahiliyah yang tidak
sesuai dengan fitrah manusia. Dengan seruan Agama Tauhid
(monotheisme) yang
gaungnya menggetarkan seluruh jazirah Arabia, maka fitrah dan nilai kemanusiaan
didudukkan ke dalam hakekat yang sebenarnya. Seruan agama tauhid inilah yang
merubah wajah Piagam Madinah dan ke-autentik-annya masyarakat jahiliyah menuju
ke tatanan masyarakat yang harmonis, dinamis, di bawah bimbingan wahyu.
Kemudian,
hijrah Rasulullah ke Madinah adalah suatu momentum bagi kecemerlangan Islam di
saat-saat selanjutnya. Dalam waktu yang relatif singkat Rasulullah telah
berhasil membina jalinan persaudaraan antara kaum Muhajirin sebagai
imigran-imigran Makkah dengan kaum Anshar, penduduk asli Madinah. Beliau
mendirikan Masjid, membuat perjanjian kerjasama dengan non-muslim, serta
meletakkan dasar-dasar politik, sosial dan ekonomi bagi masyarakat baru
tersebut; suatu fenomena yang menakjubkan ahli-ahli sejarah dahulu dan masa
kini. Adalah suatu kenyataan bahwa misi kerasulan Nabi Muhammad yang semakin
nampak nyata menggoyahkan kedudukan Makkah dan menjadikan orang-orang Quraisy
Makkah semakin bergetar.
Masyarakat
muslim Madinah yang berhasil dibentuk Rasulullah oleh sebagian intelektual
muslim masa kini disebut dengan negara kota (city state).
Lalu, dengan dukungan kabilah-kabilah dari seluruh penjuru jazirah Arab yang
masuk Islam, maka muncullah kemudian sosok negara bangsa (nation state). Walaupun sejak awal Islam
tidak memberikan ketentuan yang pasti tentang bagaimana bentuk dan konsep
negara yang dikehendaki, namun suatu kenyataan bahwa Islam adalah agama yang
mengandung prinsip-prinsip dasar kehidupan termasuk politik dan negara.
Dalam
masyarakat muslim yang terbentuk itulah Rasulullah menjadi pemimpin dalam arti
yang luas, yaitu sebagai pemimpin agama dan juga sebagai pemimpin masyarakat.
Konsepsi Rasulullah yang diilhami al Qur’an ini kemudian menelorkan Piagam
Madinah yang mencakup 47 pasal, yang antara lain berisikan hak-hak asasi
manusia, hak-hak dan kewajiban bernegara, hak perlindungan hukum, sampai
toleransi beragama yang oleh ahli-ahli politik moderen disebut manifesto
politik pertama dalam Islam.
Piagam Madinah (bahasa
Arab: صحیفة
المدینه, shahifatul madinah) juga dikenal
dengan sebutan Konstitusi Madinah, ialah sebuah dokumen yang disusun oleh Nabi
Muhammad SAW, yang merupakan suatu perjanjian formal antara dirinya dengan
semua suku-suku dan kaum-kaum penting di Yathrib (kemudian bernama Madinah) di
tahun 622. Dokumen tersebut disusun sejelas-jelasnya
dengan tujuan utama untuk menghentikan pertentangan sengit antara Bani 'Aus dan
Bani Khazraj di Madinah. Untuk itu dokumen tersebut menetapkan sejumlah hak-hak
dan kewajiban-kewajiban bagi kaum Muslim, kaum Yahudi, dan komunitas-komunitas
pagan Madinah; sehingga membuat mereka menjadi suatu kesatuan komunitas, yang
dalam bahasa Arab disebut ummah. Piagam Madinah
Sejarah Terbentuknya Piagam Madinah
Piagam Madinah disepakati tidak lama
sesudah umat muslim pindah ke Yatsrib yang waktu itu masih tinggi rasa
kesukuannya. Oleh karena itu ada baiknya kita mengetahui motif apa yang menjadi
latar belakang hijrahnya umat Muslim Mekkah ke Madinah yang waktu itu masih
bernama Yatsrib. Hal ini penting untuk kita mengetahui mengapa
agama Islam yang lahir di Mekkah itu justru malah kemudian dapat berkembang
subur di Madinah. Dan kemudian mendapat kedudukan yang kuat setelah adanya
persetujuan Piagam Madinah.
Dakwah Nabi di Mekkah dapat dikatakan kurang
berhasil. Sampai kepada tahun kesepuluh kenabian baru sedikit orang yang
menyatakan diri masuk Islam. Bahkan ada beberapa diantaranya yang memeluk agama
Islam dengan sepenuh hati mereka.
Sebelum Nabi melaksanakan hijrah, Beliau banyak
mendapat ancaman dari kafir Quraisy. Tidak hanya gangguan psikis yang Beliau
alami, tapi juga diancam secara fisik. Bahkan beberapa kali diancam untuk
dibunuh. Tapi Nabi selalu sabar dalam menghadapi gangguan-gangguan tersebut.
Dasar yang dipakai Nabi dalam menghadapi gangguan kaum kafir Quraisy tersebut
adalah surat Fushshilat ayat 34, yang berbunyi :
Kota Yatsrib mempunyai hubungan yang sangat
erat dengan Nabi. Bukan saja karena Makkah dan Yatsrib sama-sama berada di
propinsi Hijaz, tetapi juga beberapa faktor lain yang ikut menentukan, yaitu :
Pertama, Abdul Muthalib, kakek Nabi lahir dan dibesarkan
di Madinah ini sebelum akhirnya menetap di Makkah. Apalagi hubungan kakek dan
cucu ini [1][2][3][4]sangat
erat dan penuh kasih sayang. Maka hubungan kakek nabi yang erat dengan Madinah
juga membawa bekasnya pada diri Nabi.
Kedua, Ayah Rasulullah, Abdullah ibn Abdul Muthalib
wafat dan dimakamkan di Madinah. Nabi pernah ziarah ke sana bersama ibundanya.
Ibunda Nabi wafat dalam perjalanan pulang dari ziarah tersebut. Dengan demikian
Madinah bukan tempat yang asing bagi Nabi. Setidak-tidaknya Nabi pernah
berhubungan dengan kota atau penduduk kota tersebut.
Ketiga, Penduduk Madinah dari suku Arab bani Nadjar
punya hubungan kekerabatan dengan Nabi. Kedatangan Nabi di Madinah disambut
layaknya kerabat yang datang dari jauh, bukan orang asing.
Keempat, Sebagian besar penduduk
kota Yatsrib punya mata pencaharian sebagai petani, di samping itu iklim di
sana lebih menyenangkan dari pada kota Makkah. Untuk
itu dapat dimaklumi bila penduduknya lebih ramah dibandingkan penduduk kota
Makkah.
Kelima, Selain berbagai faktor di atas, juga khabar
akan datangnya Rasul akhir jaman sudah di dengar orang-orang Yatsrib dari
orang-orang Yahudi d Yatsrib. Mereka mengharap-harap dan menunggu-nunggu untuk
mendapat kehormatan membantu agama ini.
Demikian beberapa faktor
yang dapat kami kemukakan yang membantu diterimanya Nabi di Madinah dan mengapa
Nabi memilih kota Yatsrib atau Madinah sebagai kota tempat tujuan Hijrahya,
selain itu juga merupakan petunjuk Allah yang memberi jalan bagi terbukanya
syiar agama Islam.
Sejak Nabi hijrah ke
Madinah dan sesudah menetap di sana dan setelah masjid dan rumah beliau siap
didirikan, tidak lain yang menjadi fikirannya adalah menyiarkan agama Islam,
sebagai tujuan utama beliau.
Sebagai seorang pemimpin, maka beliau merasa
punya tanggung jawab besar terhadap diri dan pengikutnya. Beliau tidak saja
harus giat menyiarkan agama Islam, tetapi juga sebagai seorang pemimpin tidak
boleh membiarkan musuh-musuh dari dalam dan dari luar mengganggu kehidupan
masyarakat muslim. Pada tahap ini beliau menghadapi tiga kesulitan utama :
a. Bahaya dari kalangan Quraisy dan kaum Musyrik
lainnya di Jazirah Arab.
- Kaum Yahudi yang tinggal di dalam dan di luar kota dan memiliki kekayaan dan sumberdaya yang amat besar.
- Perbedaan di antara sesama pendukungnya sendiri karena perbedaan lingkungan hidup mereka.
Dan karena perbedaan lingkungan hidup, maka
kaum muslimin Anshar dan Muhajirin mempunyai latar belakang kultur dan
pemikiran yang sangat berbeda. Hal ini masih di tambah lagi dengan permusuhan
sengit yang telah terjadi selama 120 tahun lebih antara dua suku Anshar, yaitu
Bani Aus dan Bani Khazraj. Sangat sulit bagi Nabi mengambil jalan tengah untuk
mempersatukan mereka dalam kehidupan religius dan politik secara damai.
Tetapi akhirnya Nabi dapat mengatasi masalah
tersebut secara damai dengan cara yang amat bijaksana. Mengenai masalah yang
pertama dan kedua, beliau berhasil mengikat penduduk Madinah dalam suatu
perjanjian yang saling menguntungkan yang akan di bahas nanti. Sedangkan untuk
mengatasi masalah yang ketiga beliau berhasil memecahkannya dengan jalan keluar
yang amat bijak dan sangat jenius.
Untuk mengatasi adanya perbedaan di antara kaum
muslimin, maka Nabi mempersaudarakan di antara mereka layaknya saudara
kandungan yang saling pusaka mempusakai. Jika salah satu dari kedua bersaudara
yang baru dipersatukan tersebut wafat, maka saudara angkatnya berhak atas
seperenam harta warisannya. Perlu diketahui hukum waris sebagaimana kita kenal
sekarang belum berlaku saat itu.
Selama beberapa minggu di Madinah, Rasul
menelaah situasi kota Madinah dengan mempelajari keadaan politik, ekonomi,
sosial dan sebagainya. Beliau berusaha mencari jalan bagaimana agar penduduk
asli dan kaum muhajirin dapat hidup berdampingan dengan aman. Untuk mengatasi
kesulitan yang pertama dan kedua Nabi Muhammad membuat suatu perjanjian dengan
penduduk Madinah baik Muslimin, Yahudi ataupun musyrikin.
Dalam perjanjian itu
ditetapkan tugas dan kewajiban Kaum Yahudi dan Musyrikin Madinah terhadap
Daulah Islamiyah di samping mengakui kebebasan mereka beragama dan memiliki
harta kekayaannya. Dokumen politik, ekonomi, sosial dan militer
bagi segenap penduduk Madinah, baik Muslimin, Musyrikin, maupun Yahudinya.
Secara garis besar perjanjian itu memuat isi sebagai berikut :
Ø Bidang ekonomi dan sosial
Keharusan orang kaya
membantu dan membayar utang orang miskin, kewajiban memelihara kehormatan jiwa
dan harta bagi segenap penduduk, mengakui kebebasan beragama dan melahirkan
pendapat, menyatakan kepastian pelaksanaan hukum bagi siapa saja yang bersalah,
dan tidak ada perbedaan antara siapapun di depan pengadilan.
Ø Bidang militer[5]
Antara lain menggariskan kepemimpinan Muhammad
bagi segenap penduduk[6]
Madinah, baik Muslimin, Yahudi ataupun Musyrikin, segala urusan berada di [7]dalam
kekuasaannya. Beliaulah yang menyelesaikan segala perselisihan antara[8]
warga negara. Dengan demikian jadilah beliau sebagai Qaaid Aam (panglima
tertinggi) di Madinah. Keharusan bergotong royong melawan musuh sehingga bangsa
Madinah merupakan satu barisan menuju tujuan.
Arti Penting Piagam Madinah
Adapun Piagam Madinah itu mempunyai arti
tersendiri bagi semua penduduk Madinah dari masing-masing golongan yang
berbeda. Bagi Nabi Muhammad, maka Ia diakui sebagai pemimpin yang mempunyai
kekuasaan politis. Bila terjadi sengketa di antara penduduk Madinah maka
keputusannya harus dikembalikan kepada keputusan Allah dan kebijaksanaan
Rasul-Nya. Pasal ini menetapkan wewenang pada Nabi untuk menengahi dan
memutuskan segala perbedaan pendapat dan permusuhan yang timbul di antara
mereka.
Hal ini sesungguhnya telah lama diharapkan
penduduk Madinah, khususnya golongan Arab, sehingga kedatangan Nabi dapat
mereka terima. Harapan ini tercermin di dalam Baitul Aqabah I dan II yang
mengakui Muhammad sebagai pemimpin mereka dan mengharapkan peranannya di dalam
mempersatukan Madinah.
Sedangkan bagi umat Islam, khususnya kaum
Muhajirin, Piagam Madinah semakin memantapkan kedudukan mereka. Bersatunya
penduduk Madinah di dalam suatu kesatuan politik membuat keamanan mereka lebih
terjamin dari gangguan kaum kafir Quraisy. Suasana yang lebih aman membuat
mereka lebih berkonsentrasi untuk mendakwahkan Islam. Terbukti Islam berkembang
subur di Madinah ini.
Bagi penduduk Madinah pada umumnya, dengan
adanya kesepakatan piagam Madinah, menciptakan suasana baru yang menghilangkan
atau memperkecil pertentangan antar suku. Kebebasan beragama juga telah
mendapatkan jaminan bagi semua golongan. Yang lebih ditekankan adalah kerjasama
dan persamaan hak dan kewajiban semua golongan dalam kehidupan sosial politik
di dalam mewujudkan pertahanan dan perdamaian.
Piagam Madinah ternyata mampu mengubah
eksistensi orang-orang mukmin dan yang lainnya dari sekedar kumpulan manusia
menjadi masyarakat politik, yaitu suatu masyarakat yang memiliki kedaulatan dan
otoritas politik dalam wilayah Madinah sebagai tempat mereka hidup bersama,
bekerjasama dalam[9] kebaikan atas dasar
kesadaran sosial mereka, yang bebas dari pengaruh dan penguasaan masyarakat
lain dan mampu mewujudkan kehendak mereka sendiri.
Muhammad Jad Maula Bey,
dalam bukunya “Muhammad al-Matsalul Kamil” menyimpulkan, bahwa di dalam waktu
yang relatif pendek tersebut Nabi telah sukses menciptakan tiga pekerjaan
besar, yaitu:
·
Membentuk
suatu umat yang menjadi umat yang terbaik
·
Mendirikan
suatu “negara” yang bernama Negara Islam; dan
·
Mengajarkan
suatu agama, yaitu agama Islam.
Suasana Yang Melingkup Kelahiran Piagam Madinah
Piagam
Madinah lahir dari kondisi yang sebelum Rasulullah hijrah. Dimana di Yastrib
pada saat itu di cekam oleh konflik berkepanjangan antar suku. Dua suku
terbesar ‘Auz dan Khazraj terlibat perseteruan yang berdarah-darah. Suku yang
lebih kecil memperkeruh keadaan dengan terbelah menjadi pendukung kedua suku
besar yang berkonflik. Sementara kondisi permusuhan dan perpecahan sedemikian
kuat, bangsa yahudi sebagai pendatang terus menghembuskan suasana permusuhan.
Mereka memang mengatur untuk mendapat keuntungan materil dari konflik yang
terus dihangatkan itu. Penduduk Yatsrib kemudian meminta Rasulullah untuk
menciptakan perdamaian dan ketentraman. Di mulai dari kesadaran masyarakat
Yatsrib untuk keluar dari suasana yang mencekam konflik yang tiada berujung,
semakin rumit dan melelahkan. Kesadaran ini pula yang menjadi pondasi lahirnya
ruh kedamaian dalam Piagam Madinah.sebuah konsep yang sempurna dan kesiapan
merealisasikan dari masyarakatnya. Islam sejatinya telah siap dengan konsep
yang pertengahan dan mendamaikan bila difahami secara benar dan menyeluruh.
Sementara itu psikologis masyarakat Yatsrib yang berada diujung kekecewaan
memang selalu dipastikan akan memunculkan harapan. Bagaikan di ujung musim
gugur yang mendatangkan musim semi. Anis Matta menyebutkan itu semua sebagai
pertanda sejarah akan lewat di sini. Rasulullah kemudian didatangkan ke Yatsrib
dan mempresentasikan konsep sempurna untuk menciptakan dunia sebagai tempat yang lebih baik.
Sementara itu masyarakat sudah berada tingkat kebutuhan akan solusi yang
memuncak. Kohesi itupun terbentuk melahirkan tata kehidupan baru yang egaliter
terbuka, produktif, dan kokoh untuk menghadapi tantangan zamannya.
[1]
Ahmad zainal.Piagam nabi Muhammad saw(Jakarta:bulan bintang)1973
[3]
Syaikh shafiyyurrohman al-mubarakfury,sirah-nabawiyah(pustaka
al-kautsar)1997-2007,ibid 149
[4]
http//trenbandung.wordpress.com/2008/10/22/.sejarah-piagam-madinah
[5]
Ibid ,155
[6]
Ibid,150
[7]
Ahmad.H.zainal abiding.Sejarah Islam dan Umatnya Sampai Sekarang (Jakarta:bulan
bintang)1977
[9]
http//majidnurkholis.wordpress.com.piagam-madinah, 1999
Klik Dibawah Ini Untuk Menambah Wawasan Anda
Baca Juga Yang Ini, Seru Loo!!
إرسال تعليق