PENGARUH YUNANI TERHADAP ISLAM
Filsafat Yunani mulai
berpengaruh dikalangan ilmuan muslim pada masa pemerintahan Bani Umayyah, yang
mana metode-metode berpikir yang digunakan oleh filosof yunani memberikan motifasi
bagi ilmuwan muslim untuk lebih banyak berkarya dalam kemajuan pendidikan
islam sehingga muncul ilmuan seperti
jabir ibbnu hayyan, Al-khindi, Al- razi, Al-khawarizmi, Al-farobi, ibnu umar
khayyan, ibnu rusydi dan sebagainya,melalui merekalah pengetahuan islam telah
melakukan infestigasi dalam ilmu ke dokteran, teknologi, matematika, geografi
dan bahkan sejarah.[1]
Namun
Puncak perkembangan dan kebudayaan yunani dalam
pemikiran Islam terjadi pada masa pemerinthan Bani Abbasiyah. Akan
tetapi, bukan berarti seluruhnya berawal dari kreatifitas penguasa Bani
Abbasiyah sendiri. Sebagian di antaranya
sudah dimulai sejak awal kebangkitan Islam, misalnya Dalam bidang pendidikan,
diawal Islam lembaga pendidikan sudah mulai berkembang. Ketika itu, lembaga
pendidikan terdiri dari dua tingkat Maktab/kuttab dan masjid, yaitu lembaga
pendidikan rendah, tempat anak-anak
mengenal dasar-dasar bacaan, hitungan dan tulisan,sedangkan masjidnya adalah
tempat para remaja belajar dasar-dasar ilmu agama, seperti tafsir, hadits ,
fiqh dan bahasa, setelah Dinasti
Abbasiyah memegang kekuasaan Islam, mulailah di dalam Islam terjadi transformasi ilmu secara besar besaran. Hal
ini dilakukan dengan adanya penerjemahan berbagai buku peninggalan Yunani ke
dalam bahasa Arab,terutama dalam bidang kedokteran dan filsafat,yang mana
periode ini terdapat dalam tiga bagian:
Periode pertama
Masa kekhalifahan
al-Manshur sampai akhir masa Harun al-Rasyid
Pada masa inilah mulai diterjemahkannya berbagai buku seperti Kalila wa
Dimnah dari mitologi Persia, Sinbad dari India dan buku-buku logika (manthiq)
Aristoteles. Di antara para penerjemah yang sangat terkenal saat itu adalah Ibn
al-Muqaffa’, Jorjias bin Jibril dan Yohana.Pada periode inilah aliran Islam
yang ````sangat rasional (Mu’tazilah) mulai bersentuhan langsung dengan
buku-buku filsafat Yunani. Hal ini
disebabkan banyaknya para teolog Kristen dan Yahudi yang menggugat dasar-dasar
aqidah Islam dengan menggunakan filsafat Yunani. Oleh sebab itu, teologi
Mu’tazilah yang semenjak awal kelahirannya sangat rasional, seolah-olah
mendapatkan tenaga baru untuk mengembangkan sistem pemikirannya, dan pada saat
itulah mereka mulai banyak mengenal
terminologi-terminologi filsafat
Yunani seperti substansi (jauhar) dan ‘aradl yang banyak digunakan dalam teori-teori kalam.
Periode kedua
periode al-Ma’mun, yaitu dari tahun 198 sampai
300 H.Al-ma’mun kholifah yang banyak berjasa dalam menerjemahkan karya-karya
yunani, yang dibaca oleh karya ilmuan muslim ini memberikan motifasi untuk
menggunakan logika dalam membahas ajaran islam dan mengembangkan serta
menemukan berbagai macam ilmu pengetahuan yang baru, Di antara para penerjemah
periode ini adalah Yahya al-Bithriq, Hajjaj bin Yusuf, Qastha bin Luqa, Abdul
Masih bin Na’imah, Hunain ibn Ishhak, Ishaq bin Hunain Tsabit ibn al-Qurrah
serta Hubaisy al-A’syam. Pada periode ini, penerjemahan buku-buku
filsafat mulai mendapatkan porsi yang lebih besar daripada kedokteran,.
Periode ketiga
periode ketiga adalah periode paska al-Makmun
yang memunculkan beberapa penerjemah handal seperti Mata bin Yunus, Sannan bin
Tsabit, Yahya bin Adi, Ibn Zur’ah. Pada periode inipun, yang mendapatkan porsi
terbesar adalah penerjemahan buku-buku filsafat, terutama karya-karya
Aristoteles.
Faktor-Faktor
Pendorong Penerjemahan Secara
Besar-Besaran
Pertama, selama
dinasti Umayyah, kemajuan intelektual umat Islam cenderung datar, padahal saat
itu Islam sudah masuk ke luar Arab. Oleh sebab itu, pada zaman dinasti
Abbasiyah mulai disadari arti pentingnya ilmu-ilmu baru yang telah dikembangkan
masyarakat non-Arab.
Kedua, pada masa-masa akhir
Dinasti Umayyah, pemikiran keagamaan umat Islam sudah melonjak jauh, sehingga
banyak di antara mereka yang mulai mempersoalkan makna takdir pada perbuatan
manusia. Di
antara mereka ada yang terjebak ke dalam kubu fatalisme esktrim atau free
will (qadariyah); ada juga yang masih moderat (ikhtiyariyah). Pada situasi
inilah umat Islam mulai banyak berpolemik, baik antar mereka sendiri maupun
dengan para teolok nasroni dan yahudi
Ketiga adalah
terdapatnya kecenderungan para khalifah Abbasiyah seperti al-Manshur, Harun
al-Rasyid dan al-Ma’mun terhadap ilmu-ilmu rasional dan filsafat.
Perbedaan gerakan terjemahan yang dilakukan
pada masa Dinasti Umayah dan Abbasiyah adalah:
Pertama: bahwa pada masa Dinasti
Umayyah, gerakan terjemahan dilakukan secara individual sedangkan pada masa
Dinasti Abbasiyah dilakukan atas instruksi negara.
Kedua:pada masa Dinasti Umayyah
terjemahan masih terbatas pada ilmu-ilmu kedokteran dan astronomi, sedangkan
pada masa Abbasiyah diarahkan pada penerjemahan filsafat.
Pengaruh
Fisafat Yunani Terhadap Ilmu Kalam
Menurut Noorcholish Madjid, ada dua corak
filsafat Yunani dalam dunia Islam, yakni: Neoplatonisme
dan Aristotelianisme.
Neoplatonisme
pembahasannya
cenderung mystis,Neoplatonisme melahirkan sufisme yang juga di pengaru hi oleh
peradaban Persia dan india.
Aristotelianisme
cenderung
rasional. Dan pengaruh Aristotelianisme cukup kuat dalam perkembangan ilmu
kalam, seperti diwakili oleh Mu’tazilah, Syi’ah, Asy’ariyah dan Maturidiyah.
Corak utama pengaruh
filsafat Yunani dalam kaitannya dengan pertumbuhan dan perkembangan ilmu kalam
adalah penggunaan logika (mantiq) sebagai dalil kedua setelah nash, di dalam
memaknai aqidah dengan segala rangkaiannya. Pandangan para teolog muslim dalam dalil
aqli banyak terinspirasi oleh buku karangan Plato yang berjudul “Timaeus.”
Mereka hanya mengambil unsur-unsur inti dari buku karangan plato yang
mencerminkan ruh pemikiran Yunani kemudian mencampurnya dengan unsur-unsur
ketimuran. Al-Qadli Abd.[2]
Jabbar, misalnya. Dalam salah satu uraiannya tentang al-Ushul al-Khomsah
dia berkata: “…jika sudah jelas bahwa al-ajsam (hal-hal yang menempati ruang
dan waktu) adalah hadits (baru), maka harus ada yang menciptakannya. Pencipta
itu tidak lain adalah Allah, Al-Qadli Abd[3].
Jabbar dalam uraiannya di atas telah
menggunakan bahasa (baca, cara) Plato, bukti bahwa argumen semacam itu juga
telah dipakai oleh Plato dalam buku ‘Timaeus’
Al-Quran juga telah menyebutkan penggunaan akal
merupakan suatu keharusan dalam menjalani kehidupan ini, baik kehidupan lahir
maupun batin (baca, keyakinan). Allah berfirman: Katakan! (hai Muhammad)
renungkanlah apa yang ada di langit dan di bumi. (QS Yunus, ayat 101).
Berdasarkan Fakta di atas maka adalah suatu yang wajar jika teologi ini harus
menggunakan dalil-dalil aqli.
Dalil aqli merupakan kebalikan dari -dalil
naqli. Jika dalil naqli bertolak dari sikap pasrah dan menerima secara mutlak
terhadap nash yang dipergunakan sebagai dalil, maka dalil aqli diawali oleh
akal yang berpegang pada argumen dan fakta. Akal akan mampu mencapai pemahaman
pada Nash sebagaimana ia mampu mengatasi problem penafsiran leksikal atau
materialistis. Akal adalah ‘pewaris wahyu.’ Ketika wahyu sudah sempurna, maka
akal adalah ‘evolusi’ atas wahyu tersebut. Ketika Nash menjadi argumen aqli
yang berdiri sendiri hingga kekuatan Nash tersebut tercermin dalam argumen aqli
yang mengungkapkannya, maka argumen aqli itu akan dapat menyentuh
nurani dan akan menuju pada ruh
keharmonisan logis. Dari sinilah kemudian lahir berbagai tokoh teolog dan
filosof Islam yang saling berlomba mengemukakan berbagai konsepsinya tentang
ilmu kalam dengan berbagai argumentasinya. Berbagai diskusi bergulir dari satu
tema ke tema yang lainnya, mulai dari wujud Tuhan (qadim-hadits,
transenden-imanen), sifat-sifatNya (wajib, mustahil, mungkin), af’alNya (sabda,
keadilan, dst), kekuatan akal dan wahyu, posisi dan fungsi manusia, sampai
kepada persoalan eskatologis (surga, neraka, dst) Sebagai contoh, kita akan
mengangkat bagaimana Ibn Sina berusaha membuktikan bahwa Tuhan benar-benar ada.
Dalam al-Isyarat, ia menjelaskan hal ini dengan sangat sistematis. Pertama ia
menjelaskan bagaimana pemikiran kaum positivis yang menafikan wujud Tuhan serta
argumen-argumennya. Setelah itu, ia membantah argumen kaum positivis dengan
argumen yang biasa mereka gunakan. Seperti kita ketahui, kaum positivis tidak
mau menerima adanya realitas di luar yang dapat kita persepsi melalui indra.
Dengan argumentasi ini, Ibn Sina mulai membuktikan bahwa terdapat wujud di luar
materi. Setelah itu, Ibn Sina melanjutkan dengan menjelaskan bahwa wujud di
luar materi tersebut yang paling utama adalah Sang penyebab pertama yang
darinya berangkai berbagai sebab. Di sinilah ia membuktikan bagaimana Tuhan
menjadi penyebab utama (al-Ilah al-Ula).
Klik Dibawah Ini Untuk Menambah Wawasan Anda
Baca Juga Yang Ini, Seru Loo!!
+ komentar + 1 komentar
Nasi Kuning Tradisional: Resep Warisan Leluhur yang Menggugah Selera Rahasia Kelezatan Nasi Kuning Tradisional di bawah Rahasia Kelezatan Nasi Kuning Tradisional 2024 Resep Nasi Kuning Paling Enak Banget
Wow Master Verry Good Tempat Wisata Bali
Wow Master Verry Good Tempat Wisata Bali
إرسال تعليق