PERKEMBANGAN LIBERALISME
DI INDONESIA
Kebebasan adalah milik semua hak manusia, namun
dilain pihak, banyak orang yang menggunakan kebebasan tersebut untuk berbuat
kesewenangan yang pastinya dapat merugikan oranglain. Liberalisme datang ke
Indonesia melalui jalan pemikiran orang-orang barat. Sehingga sedikit banyak
adanya penyimpangan untuk negara yang berbasis islam seperti Indonesia.
Pada masa abbasiyyah, liberalisme juga muncul
dinegara islam. Maka dari itu pastiya ada perbedaan, antara liberalisme di
Indonesia dan pada masa abbasiyyah.
Liberalisme atau Liberal adalah sebuah
ideologi, pandangan filsafat, dan tradisi politik yang didasarkan pada
pemahaman bahwa kebebasan dan persamaan hak adalah nilai politik yang utama.
Secara umum, liberalisme mencita-citakan suatu
masyarakat yang bebas, dicirikan oleh kebebasan berpikir bagi para individu.
Paham liberalisme menolak adanya pembatasan, khususnya dari pemerintah dan
agama.[1]
Dalam masyarakat modern, liberalisme akan dapat
tumbuh dalam sistem demokrasi, hal ini dikarenakan keduanya sama-sama
mendasarkan kebebasan mayoritas.
Pokok-pokok Liberalisme
Ada tiga hal yang mendasar dari Ideolog
Liberalisme yakni Kehidupan, Kebebasan dan Hak Milik (Life, Liberty and
Property). Dibawah ini, adalah nilai-nilai pokok yang bersumber dari tiga nilai
dasar Liberalisme tadi:
Pertama, Kesempatan yang sama. (Hold the Basic Equality
of All Human Being). Bahwa manusia mempunyai kesempatan yang sama, di dalam
segala bidang kehidupan baik politik, sosial, ekonomi dan kebudayaan. Namun karena kualitas manusia yang
berbeda-beda, sehingga dalam menggunakan persamaan kesempatan itu akan
berlainan tergantung kepada kemampuannya masing-masing. Terlepas dari itu
semua, hal ini (persamaan kesempatan) adalah suatu nilai yang mutlak dari
demokrasi.
Dengan adanya pengakuan
terhadap persamaan manusia, dimana setiap orang mempunyai hak yang sama untuk
mengemukakan pendapatnya, maka dalam setiap penyelesaian masalah-masalah yang
dihadapi baik dalam kehidupan politik, sosial, ekonomi, kebudayaan dan
kenegaraan dilakukan secara diskusi dan dilaksanakan dengan persetujuan –
dimana hal ini sangat penting untuk menghilangkan egoisme individu.( Treat the Others Reason Equally).
Pemerintah harus mendapat persetujuan dari yang
diperintah. Pemerintah tidak boleh bertindak menurut kehendaknya sendiri,
tetapi harus bertindak menurut kehendak rakyat.(Government by the Consent of
The People or The Governed)
Kedua, Berjalannya hukum (The Rule of Law). Fungsi
Negara adalah untuk membela dan mengabdi pada rakyat. Terhadap hal asasi
manusia yang merupakan hukum abadi dimana seluruh peraturan atau hukum dibuat
oleh pemerintah adalah untuk melindungi dan mempertahankannya. Maka untuk
menciptakan rule of law, harus ada patokan terhadap hukum tertinggi
(Undang-undang), persamaan dimuka umum, dan persamaan sosial. Yang menjadi pemusatan kepentingan adalah
individu.(The Emphasis of Individual). Negara
hanyalah alat (The State is Instrument). Negara itu sebagai suatu mekanisme
yang digunakan untuk tujuan-tujuan yang lebih besar dibandingkan negara itu
sendiri. Di dalam ajaran Liberal Klasik, ditekankan bahwa masyarakat pada
dasarnya dianggap, dapat memenuhi dirinya sendiri, dan negara hanyalah
merupakan suatu langkah saja ketika usaha yang secara sukarela masyarakat telah
mengalami kegagalan.
Dalam liberalisme tidak dapat menerima ajaran
dogmatisme (Refuse Dogatism). Hal ini disebabkan karena pandangan filsafat dari
John Locke (1632 – 1704) yang menyatakan bahwa semua pengetahuan itu didasarkan
pada pengalaman. Dalam pandangan ini, kebenaran itu adalah berubah.
Dua Masa Liberalisme
Liberalisme adalah sebuah ideologi yang
mengagungkan kebebasan. Ada dua macam
Liberalisme, yakni Liberalisme Klasik dan Liberallisme Modern. Liberalisme
Klasik timbul pada awal abad ke 16. Sedangkan Liberalisme Modern mulai muncul
sejak abad ke-20. Namun, bukan berarti setelah ada Liberalisme Modern,
Liberalisme Klasik akan hilang begitu saja atau tergantikan oleh Liberalisme
Modern, karena hingga kini, nilai-nilai dari Liberalisme Klasik itu masih ada.
Liberalisme Modern tidak mengubah hal-hal yang mendasar ; hanya mengubah
hal-hal lainnya atau dengan kata lain, nilai intinya (core values) tidak berubah
hanya ada tambahan-tanbahan saja dalam versi yang baru. Jadi sesungguhnya, masa
Liberalisme Klasik itu tidak pernah berakhir
Dalam Liberalisme Klasik, keberadaan individu
dan kebebasannya sangatlah diagungkan. Setiap individu memiliki kebebasan
berpikir masing-masing – yang akan menghasilkan paham baru. Ada dua paham,
yakni demokrasi (politik) dan kapitalisme (ekonomi). Meskipun begitu, bukan
berarti kebebasan yang dimiliki individu itu adalah kebebasan yang mutlak,
karena kebebasan itu adalah kebebasan yang harus dipertanggungjawabkan. Jadi,
tetap ada keteraturan di dalam ideologi ini, atau dengan kata lain, bukan bebas
yang sebebas-bebasnya.
Pemikiran Tokoh Klasik dalam Kelahiran dan
Perkembangan Liberalisme Klasik
Tokoh yang memengaruhi paham Liberalisme Klasik
cukup banyak – baik itu dari awal maupun sampai taraf perkembangannya. Berikut
ini akan dijelaskan mengenai pandangan yang relevan dari tokoh-tokoh terkait
mengenai Liberalisme Klasik.
Ø Martin Luther dalam Reformasi Agama
Gerakan Reformasi Gereja pada awalnya hanyalah
serangkaian protes kaum bangsawan dan penguasa Jerman terhadap kekuasaan
imperium Katolik Roma. Pada saat itu
keberadaan agama sangat mengekang individu. Tidak ada kebebasan, yang ada
hanyalah dogma-dogma agama serta dominasi gereja. Pada perkembangan berikutnya,
dominasi gereja dirasa sangat menyimpang dari otoritasnya semula. Individu
menjadi tidak berkembang, kerena mereka tidak boleh melakukan hal-hal yang
dilarang oleh Gereja bahkan dalam mencari penemuan ilmu pengetahuan sekalipun.
Kemudian timbullah kritik dari beberapa pihak – misalnya saja kritik oleh
Marthin Luther; seperti : adanya komersialisasi agama dan ketergantungan umat
terhadap para pemuka agama, sehingga menyebabkan manusia menjadi tidak
berkembang; yang berdampak luas, sehingga pada puncaknya timbul sebuah
reformasi gereja (1517) yang menyulut kebebasan dari para individu yang tadinya
“terkekang”.
Ø John Locke dan Hobbes; konsep State of Nature
yang berbeda
Kedua tokoh ini berangkat dari sebuah konsep
sama. Yakni sebuah konsep yang dinamakan konsep negara alamaiah" atau yang
lebih dikenal dengan konsep State of Nature. Namun dalam perkembangannya, kedua
pemikir ini memiliki pemikiran yang sama sekali bertolak belakang satu sama
lainnya. Jika ditinjau dari awal, konsepsi State of Nature yang mereka pahami
itu sesungguhnya berbeda. Hobbes (1588 – 1679) berpandangan bahwa dalam ‘’State
of Nature’’, individu itu pada dasarnya jelek (egois) – sesuai dengan
fitrahnya. Namun, manusia ingin hidup damai. Oleh karena itu mereka membentuk
suatu masyarakat baru – suatu masyarakat politik yang terkumpul untuk membuat
perjanjian demi melindungi hak-haknya dari individu lain dimana perjanjian ini
memerlukan pihak ketiga (penguasa).
Sedangkan John Locke (1632
– 1704) berpendapat bahwa individu pada State of Nature adalah baik, namun
karena adanya kesenjangan akibat harta atau kekayaan, maka khawatir jika hak
individu akan diambil oleh orang lain sehingga mereka membuat perjanjian yang
diserahkan oleh penguasa sebagai pihak penengah namun harus ada syarat bagi
penguasa sehingga tidak seperti ‘membeli kucing dalam karung’. Sehingga, mereka memiliki bentuk akhir dari
sebuah penguasa/ pihak ketiga (Negara), dimana Hobbes berpendapat akan timbul
Negara Monarkhi Absolute sedangkan Locke, Monarkhi Konstitusional.
Bertolak dari kesemua hal tersebut, kedua
pemikir ini sama-sama menyumbangkan pemikiran mereka dalam konsepsi
individualisme. Inti dari terbentuknya Negara, menurut Hobbes adalah demi
kepentingan umum (masing-masing individu) meskipun baik atau tidaknya Negara
itu kedepannya tergantung pemimpin negara. Sedangkan Locke berpendapat,
keberadaan Negara itu akan dibatasi oleh individu sehingga kekuasaan Negara
menjadi terbatas – hanya sebagai “penjaga malam” atau hanya bertindak sebagai
penetralisasi konflik.
Ø Adam Smith
Para ahli ekonomi dunia menilai bahwa pemikiran
mahzab ekonomi klasik merupakan dasar sistem ekonomi kapitalis. Menurut Sumitro
Djojohadikusumo, haluan pandangan yang mendasari seluruh pemikiran mahzab
klasik mengenai masalah ekonomi dan politik bersumber pada falsafah tentang
tata susunan masyarakat yang sebaiknya dan seyogyanya didasarkan atas hukum
alam yang secara wajar berlaku dalam kehidupan masyarakat. Salah satu pemikir
ekonomi klasik adalah Adam Smith (1723-1790). Pemikiran Adam Smith mengenai
politik dan ekonomi yang sangat luas, oleh Sumitro Djojohadikusumo dirangkum
menjadi tiga kelompok pemikiran.
Pertama, haluan pandangan Adam Smith tidak
terlepas dari falsafah politik, kedua, perhatian yang ditujukan pada identifikasi
tentang faktor-faktor apa dan kekuatan-kekuatan yang manakah yang menentukan
nilai dan harga barang. Ketiga, pola, sifat, dan arah kebijaksanaan negara yang
mendukung kegiatan ekonomi ke arah kemajuan dan kesejahteraan mesyarakat.
Singkatnya, segala kekuatan ekonomi seharusnya diatur oleh kekuatan pasar
dimana kedudukan manusia sebagai individulah yang diutamakan, begitu pula dalam
politik.
Liberalisme di Indonesia
Banyak orang menyangka, Jaringan Islam liberal
muncul belakangan ini akibat kemunculan kelompok-kelompok Islam fundamentalis
di Indonesia. Buktinya, ketika pemerintah Orde Baru masih berkuasa, belum ada
Jaringan Islam Liberal. Demikian pula dengan kelompok-kelompok Islam
fundamentalis, pada waktu itu belum menjamur atau, katakanlah, belum muncul dan
tersebar seperti sekarang ini.
Jika dicermati, anggapan itu, ternyata, tidak
sepenuhnya benar dan tidak sepenuhnya pula salah. Dalam sejarah, pemikiran
Islam liberal, kalau istilah ini bisa dan boleh dipakai, selalu muncul sebagai
reaksi atas kemunculan pemikiran Islam fundamentalis. Semakin menjamur
kelompok-kelompok Islam fundamentalis, semakin kuat pula dorongan untuk
mengorganisasikan jejaring Islam liberal.
Menariknya, seolah-olah kemunculan Islam
liberal di Indonesia terjadi setelah adanya persentuhan secara intens dengan
Barat dan demokrasi yang ada di sana, sedangkan Islam fundamentalis muncul di
Indonesia setelah terjadi persentuhan dengan Arab dan puritanisme di sana.
Artinya, kemunculan masing-masing disebabkan oleh pengaruh yang datang dari
luar, bukan dua hal yang murni dari Indonesia.
Dalam satu resensi terhadap buku Wajah Liberal
Islam Di Indonesia (Teater Utan Kayu dan Jaringan Islam Liberal, Jakarta,
2002), Daniel Lev, salah seorang pengamat Indonesia mengatakan, ada beberapa
sebab di balik kemunculan pandangan Islam liberal di Indonesia di awal milenium
kedua ini dan sulit untuk menjawab kenapa sekarang. Yang jelas, kemunculan yang
dimaksud adalah hasil rangkaian panjang pergulatan pemikiran Islam di
Indonesia. Sebab-sebab pendorong kemunculan itu pun tergolong ke dalam
“kebetulan-kebetulan sejarah” yang sulit untuk diprediksi.
Kordinator Jaringan Islam Liberal, Ulil Abshar
Abdalla, ketika diwawancarai Tempo terkait tulisan-tulisannya tentang wacana
Islam liberal di media-media massa, mengakui, pemikiran dan kritiknya selama
ini ditujukannya kepada kelompok-kelompok Islam radikal di Indonesia.
Sebagaimana kita ketahui, radikalisme Islam di Indonesia mulai bangkit ketika
reformasi digulirkan pada 1998 yang lalu. Sejak saat itu, kelompok-kelompok
Islam radikal bermunculan. Masing-masing menyeru agar umat Islam di Indonesia
menegakkan syariat Islam. Oleh sebagian orang, mereka disebut dengan Islam
fundamentalis.
Albert Hourani adalah salah seorang pengajar di
Oxford’s Middle East Centre. Ia banyak mengkaji dan menulis tentang Timur
Tengah. Ketika menulis Arabic Thought in the Liberal Age 1798 – 1939, ia
menegaskan, dalam masyarakat Arab era liberal pernah muncul dan hidup selama
beberapa waktu, sebelum kemudian tenggelam dan mengalami pertempuran sengit
yang tak selesai-selesai sampai sekarang.
Pemikiran-pemikiran Islam yang liberal,
menurutnya, didorong pertama kali pada tahun 1798. Tahun ini adalah tahun
ketika pasukan Napoleon Bonaparte menginjakkan kaki di Mesir. Dunia Arab
kemudian menyaksikan era liberal yang ditandai dengan berkembangnya respon yang
positif terhadap kemajuan Barat. Indutrialisasi, rasionalisasi, dan modernisasi
adalah pilar-pilar kehidupan Barat yang menjadi perhatian bersama sebagian
besar orang-orang Arab. Bagi mereka, ketiga pilar itu penting untuk kehidupan
manusia.[2]
Dalam semangat seperti itu, para pemikir muslim
dan non-muslim bersama-sama mengadakan dialog secara bebas. Mereka tidak merasa
khawatir untuk berlomba-lomba mengekspresikan secara bebas pemahaman mereka
terhadap agama dan budaya di tengah-tengah masyarakat Arab. Berbagai wacana
liberal silih berganti memenuhi tahun-tahun itu. Meski beberapa tokoh pemikir
di antara mereka dikafirkan oleh tokoh-tokoh agama waktu itu, semangat
kebebasan berpikir liberal tidak surut di antara mereka.
Era liberal seperti itu baru berakhir pada
1939. Selama rentang 1798 – 1939, era itu dihuni oleh tiga generasi pemikir.
Generasi pertama muncul dan mewarnai pemikiran-pemikiran pada 1830 – 1870.
Mereka berpikir untuk menjawab pertanyaan “Mengapa dunia Barat maju?” dan
“Mengapa pula dunia Arab dan Islam mundur?”. Dari pertanyaan-pertanyaan itu,
muncul beberapa pemikir yang mencoba memberi jawab. Di antara mereka yang
terkenal adalah Rifa’ah Badawi Rafi’ Ath-Thahthawi (1801 – 1873), Khairuddin
Pasya At-Tunisi (1825 (?) – 1889), Faris Asy-Syidyaq (1804 – 1887) dan Butrus
Al-Bustani (1819 – 1883).
Generasi kedua muncul pada rentang 1870 – 1900.
Mereka mulai muncul dengan beberapa wacana yang lebih berani. Soal
ketertinggalan Arab dan Islam dari Barat masih dibicarakan oleh generasi ini.
Mereka juga memikirkan rasionalisme Barat yang perlu diterapkan dalam
menjalankan Islam. Artinya, akal perlu dipakai untuk menafsirkan Al-Qur’an dan
Hadits. Selain itu, wacana yang mulai muncul adalah masalah persamaan gender.
Pada rentang waktu inilah, dibahas isu-isu emansipasi wanita di tengah-tengah
masyarakat Arab pada umumnya dan masyarakat muslim secara khusus. Di antara
pemikir-pemikir generasi kedua ini adalah Jamaluddin Al-Afghani (1839 – 1897),
Muhammad Abduh (1848 – 1905), dan Qasim Amini (1865 – 1908).
Generasi ketiga merentang pada 1900 – 1939.
Rentang ini adalah puncak era liberal di dunia Arab sekaligus menandai akhir
era itu. Berbagai wacana liberal muncul dan dipikirkan. Namun, tema tentang
kekhalifahan Islam (Apakah kekhalifahan Islam perlu bagi masyarakat Arab dan
Islam?) adalah yang sering mendatangkan perdebatan sengit di antara mereka.
Memasuki dasawarsa 1920-an, wacana mulai mengerucut menjadi wacana-wacana
politis. Muncul isu-isu tentang nasionalisme, baik itu nasionalisme Arab,
nasionalisme Turki atau bahkan nasionalisme Mesir. Keadaan ini kemudian diikuti
wacana-wacana yang bersifat fundamental; mereka mulai meninggalkan upaya-upaya
rasionalisasi dan modernisasi dalam beragama. Di antara tokoh-tokoh pemikir
pada generasi ketiga adalah Muhammad Rasyid Ridha (1865 – 1935), Ali Abdurraziq
(1888-1966), dan Thaha Husain (1889 – 1973).
Akhir generasi ketiga era liberal itu bukan
berarti matinya pemikiran liberal dalam Islam selama-lamanya. Kemunculan
gerakan Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir, Jamaah Takfir wal Hijrah, dan juga
negara Israel adalah beberapa sebab signifikan yang mendorong kebangkitan
kembali pemikiran liberal di dunia Arab dan terkhusus lagi di tengah-tengah
kaum muslimin di dunia. Tampil dengan corak yang lebih baru, era liberal yang
kedua dimulai ketika negara-negara Arab kalah dalam Perang Tujuh Hari melawan
Israel pada 1967.
Yang jelas, setelah kekalahan itu, muncul
tulisan-tulisan dengan semangat yang sama ketika era liberal pertama
berlangsung. Di antara nama terkenal yang membawa semangat ini adalah Zaki
Najib Mahmud, Najib Mahfouz, Nawal el Sadawi, Hassan Hanafi, Muhammad Arkoun,
Adonis, Nashr Hamid Abu Zaid, dan Khalid Abul Fadhl. Pemikiran-pemikiran mereka
menyebar ke negara-negara Islam seperti Indonesia. Tulisan-tulisan mereka
dikaji dalam diskusi-diskusi, bahkan kadang kala beberapa pemikir itu pun
diundang untuk berbicara langsung.
Di Indonesia sendiri, menurut Ulil Abshar
Abdalla, tradisi liberal sebenarnya sudah ada di lingkungan Nahdlatul Ulama
(NU). Sejak 1980-an, banyak isu-isu sensitif dalam Islam yang dipecahkan oleh
NU dengan tidak biasa. Mulai dari Pancasila sebagai asas tunggal, bunga bank,
bank konvensional, sampai ke isu insklusivisme Islam Indonesia. Wajar, jika
citra NU sebagai organisasi Islam tradisionalis sudah lama, kiranya, harus
ditinggalkan. Sejak 1970-an, mereka sudah dapat dikata mengisi posisi yang
pernah ditempati Muhammadiyah dan Persatuan Islam (Persis) pada 1920-an dulu.
Greg Burton, penulis biografi Gus Dur, malah yakin, posisi sebagai kelompok
Islam konservatif sekarang ini justru dipegang oleh Muhammadiyah dan Persis.
istilah Islam liberal sendiri muncul pertama
kali waktu Greg Barton menyebut istilah itu dalam bukunya, Gagasan Islam Liberal
di Indonesia. Islam liberal yang muncul dua tahun setelah itu, ternyata, mampu
bertahan lama dan menjadi wadah diskusi yang aman antara mereka. Dari
diskusi-diskusi yang terjadi, tergagaslah keinginan untuk membentuk suatu wadah
yang bernama Jaringan Islam Liberal.
Seiring tahun-tahun yang berlalu, wadah yang
dimaksud berkembang dan mendapat simpati dari banyak pihak di dalam dan luar
negeri, baik dari kalangan muslim sendiri maupun kalangan non-muslim. Mereka
memiliki kegiatan yang beragam. Diskusi-diskusi, penerjemahan dan penerbitan
buku-buku. Mereka yang tergabung ke dalam Jaringan Islam Liberal pun banyak
menuangkan pemikiran-pemikiran mereka ke berbagai media massa.
Meski Islam fundamentalis, yang pada masa Orde
Baru sering disebut dengan kelompok ekstrem kanan, sudah ada sejak dulu,
kemunculannya dua belas tahun belakangan ini memberi warna tersendiri dalam
sejarah Islam di Indonesia
Munculnya liberalisme pada
masa Abbasiyah
Kawasan Timur Tengah
adalah tempat asal mula ajaran Kristen dan Yahudi. Namun, sejak mulai abad ke-6
sampai abad ke-10, di seluruh jazirah Arabi sampai Persia, Afrika Utara, bahkan
Spanyol tumbuh apa yang disebut sebagai dunia Islam.
Hidup di bawah kekuasaan
Islam membuat para pemeluk Kristen di Timur Tengah yang umumnya terdiri dari
tiga sekte utama, yaitu Melkit, Nestorian, dan Yakobit untuk beradaptasi.
Penganut Yakobit yang
banyak menghuni wilayah Suriah yang mulanya penutur Siriak, salah satu dialek
bahasa Aramaik yang dahulu dipakai Yesus, kini harus membiasakan lidahnya
dengan bahasa Arab.
Sekte Kristen Melkit di
Palestina yang biasa memakai bahasa Yunani pun akhirnya mengakrabi bahasa Arab.
Penganut Nestorian yang banyak menghuni wilayah Persia, Irak, Mesir, dan
sebagian Jazirah Arab juga mengikuti. Pada abad ke-8 saat Dinasti Abbasiyah
mulai berkuasa, sekte-sekte Kristen lain di Timur Tengah, seperti Maronit di
Lebanon dan Koptik di Mesir, sudah menjadi penutur bahasa Arab yang fasih.
Intelektual Kristen pun
mulai menerjemahkan banyak tulisan liturgis klasik ajaran gereja yang awalnya
dari bahasa Yunani dan Siriak ke bahasa Arab. Inilah awal kebangkitan
intelektual Kristen di dunia Islam dalam menyampaikan aspirasi keagamaannya.
Pada abad ke-8, berbagai karya teologi yang menyampaikan keunggulan ajaran
Kristen sebagai bentuk perlawanan intelektual terhadap kekuasaan Muslim banyak
ditulis dalam bahasa Siriak, Yunani, maupun Arab.
Banyak ilmuwan Kristen
yang menulis mengenai kekuasaan Islam dalam genre apokaliptis bahwasanya
ekspansi kekuasaan Islam terjadi karena dosa orang-orang Kristen sendiri dengan
merujuk Injil Kitab Daniel. Semua itu akan berakhir ketika datangnya sang
Messiah sebagai pembaharu dan penyelamat ajaran Kristen. Salah satu karya tulis
yang terkenal adalah Apocalypse of Pseudo Methodius of Patara yang aslinya
ditulis dalam bahasa Siriak dan kemudian dialih bahasakan ke Latin, Yunani, dan
akhirnya mencapai Eropa. Karya-karya semacam inilah yang kemudian membentuk
stereotip masyarakat Eropa terhadap Islam pada Abad Pertengahan.
Perkembangan selanjutnya,
para ilmuwan Kristen mulai berani menulis karya yang isinya mengundang polemik
seperti menjelek-jelekkan ajaran Islam. Yahya dari Damaskus (wafat 754 M)
menulis buku “Sumber Pengetahuan“ yang salah satu babnya berjudul `'Kebid'ahan
Pengikut Ismail'' yang merujuk pada Arab Muslim. Buku ini ditulis di Palestina
dan awalnya memakai bahasa Yunani. Inilah cara kalangan intelektual Kristen
mengambil garis pemisah tegas antara kepercayaan mereka dan Islam.
Dengan cara itu pula,
lewat karya teologis berbahasa Arab, sekte-sekte Kristen itu juga saling
berpolemik satu sama lain. Penulis Kristen abad ke-9 seperti Theodore Abu
Qurrah (755-830) dari sekte Melkit, Habib Ibn Khidmah Abu Raihah (wafat 851)
dari Yakobit, dan Ammar al-Basir (wafat 850) mewakili Nestorian, menulis buku
dengan tujuan tak hanya menunjukkan bahwa Kristen agama yang paling
benar, tetapi juga denominasi atau sekte mereka sebagai model ajaran Kristen
sesungguhnya.
Intelektual Kristen
lainnya Generasi penulis Kristen berikutnya adalah Yahya Ibn Adi (893-974)
mewakili Yakobit, Elias dari Nisibis (975-1046) dari Nestorian, serta Eutychius
dari Aleksandria (877-940) penganut Melkit. Mereka inilah yang menjadi ujung
tombak kaum Kristen dalam berpolemik dengan intelektual Muslim, juga dengan
intelektual Kristen dari sekte lain yang sekaligus memperkaya khazanah teologi
Kristen masa itu. Perkembangan tiga denominasi Kristen utama di dunia Islam ini
mendapat perhatian para penulis Muslim, seperti Abu Isa alWarraq (wafat 860),
Abd al-Jabbar al-Hamdhani (wafat 1025), serta ahli debat dari Andalusia, Ibn
Hazm (994-1064).
Dinasti Abbasiyah yang
saat awal kebangkitannya mengeksploitasi kebijakan diskriminatif Dinasti
Umayyah terhadap warga non-Arab Muslim memberi ruang gerak yang cukup terbuka
pada gerakan intelektual seperti ini, yang mungkin mendapat cap liberal pada
masa sekarang. Penguasa Abbasiyah bahkan memanfaatkan talenta intelektual
Kristen ini, dari berbagai sekte, untuk memperkaya khazanah ilmu pengetahuan
dunia Islam.[3]
Intelektual Kristen banyak
membantu penerjemahan karya-karya klasik Yunani ke dalam bahasa Arab.
Perpustakaan kebanggaan Wangsa Abbasiyah, Bait al-Hikmah di Baghdad, yang
banyak berisi karya-karya Yunani, tak akan berdiri tanpa keberadaan staf
penerjemah dari kalangan intelektual Kristen.
Para intelektual Arab
Kristen seperti Qunayn Ibn Ishaq (808-873), Abu Ali Isa Ibn Zur (943-1008), dan
tentu saja Yahya Ibn Adi yang dikenal sebagai penyambung lidah Aristoteles
berperan penting dalam menerjemahkan karya filosofi, sains, dan medis dari masa
Yunani dan Romawi. Banyak karya itu sebelumnya sudah ditulis dalam bahasa
Siriak sebagai terjemahan dari versi asli yang berbahasa Yunani. Mereka itulah
yang mengawali renaisans humanisme di dunia Islam dan membantu memperkenalkan
pemikiran Aristoteles kepada ilmuwan Muslim, seperti al-Farabi (870-950), Ibn
Sina (980-1037), atau Ibn Rushd (1126-1198).
Qusta Ibn Luqa (835-912),
seorang Melkit dari Baalbek adalah ahli medis, matematikawan, filsuf, dan ahli
musik. Filsuf Muhammad Isa Ibn an-Nadim memuji Ibn Luqa sebagai penerjemah
andal yang mampu mengoreksi karya-karya terjemahan dari naskah Yunani dan
Siriak mengenai ilmu pengobatan.
Al-Bitriq diperintahkan
oleh Khalifah al-Mansur (754-775) untuk menerjemahkan berbagai buku medis kuno
dari Galia, karya Hipokrates dan Ptolemeus. Kalangan Kristen, meskipun
statusnya warga negara kelas dua, juga mendapat tempat tersendiri dalam
pemerintahan Dinasti Abbasiyah.
Di Baghdad yang didirikan
pada 763 banyak ditemui bangunan gereja dan biara, bahkan kampung-kampung
Kristen. Para intelektual Kristen banyak berkarya sebagai dokter, saintis,
birokrat, ataupun pejabat pengadilan di seluruh wilayah kekuasaan Abbasiyah.
Banyak pejabat kerajaan berasal dari keluarga Nestorian yang terpandang.
Klik Dibawah Ini Untuk Menambah Wawasan Anda
Baca Juga Yang Ini, Seru Loo!!
إرسال تعليق