Para ulama berbeda pendapat dalam
menetapkan status hukum rokok. Di dalam Kitab Radd al-Muhtaar, Imam
Ibnu ’Abidin rahimahullah menyatakan, ”Pendapat para ulama mengenai
masalah ini (rokok) tidaklah seragam. Sebagian ulama berpendapat bahwa
rokok hukumnya makruh; sebagian yang lain mengharamkannya, dan sebagian
yang lain memubahkannya. Masing-masing menyatakan pendiriannya dalam
karya-karya mereka.” [Ibnu ’Abidin, Radd al-Muhtaar, juz 27, hal. 266]
Masih menurut beliau, ”Di dalam Kitab
Syarah al-Wahbaaniyyah karya Imam al-Surunbulaliy , beliau menyatakan,
”Dilarang jual beli rokok dan meminumnya (menghisapnya). Orang yang
menghisap rokok di saat puasa tidak diragukan lagi ia telah berbuka. Di
dalam Syarah al-Allamah Syaikh Isma’il al-Nablusiy, orang tua dari
guru kami, ’Abd al-Ghaniy, terhadap kitab Syarah al-Durari, disebutkan
bahwa seorang suami punya hak melarang isterinya memakan bawang putih,
bawang merah, dan semua makanan yang menyebabkan mulut berbau…Gurunya
guru kami, al-Musayyaraiy dan yang lainnya, memberikan fatwa larangan
menghisap tembakau.” [Ibnu ’Abidin, Radd al-Muhtaar, juz 27, hal. 266]
’Allamah Syaikh ’Ali al-Ajhuriy memiliki
sebuah risalah (tulisan) yang membolehkan menghisap tembakau. Di dalam
tulisan itu disebutkan bahwasanya orang yang memberi fatwa bolehnya
menghisap tembakau bersandar kepada Imam empat madzhab. [Ibnu ’Abidin,
Radd al-Muhtaar, juz 27, hal. 266]
Ibnu ’Abidin menyatakan, ”Saya katakan,
”Ulama yang juga mengarang tulisan yang membolehkan menghisap tembakau
adalah guru kami yang arif, ’Abdul Ghaniy al-Nablusiy. Tulisan itu
berjudul al-Shulhu bain al-Ikhwaan fi Ibaahat Syurb al-Dukhaan. Beliau
telah menjelaskan dengan sangat baik masalah ini dalam karya-karyanya.
Beliau mengkritik dengan sangat keras orang-orang yang mengharamkan
atau memakruhkan tembakau. Sebab, keduanya (haram dan makruh) adalah
hukum syariat yang harus disandarkan pada dalil. Padahal tidak ada
satupun dalil yang menunjukkan hukum itu. Pasalnya, tidak terbukti
bahwa tembakau itu memabukkan, melemahkan, atau membahayakan (dlarar).
Tetapi justru terbukti bahwa ia memiliki beberapa manfaat. Hukum
tembakau (rokok) masuk dalam kaedah ”al-ashl fi al-asyyaa’ ibaahah”
(hukum asal dari benda adalah mubah). Sesungguhnya beberapa dlarar yang
terkandung di dalamnya tidak menjadikan keseluruhannya haram. Madu
bisa membahayakan orang yang terkena penyakit kuning akut. Seandainya
Allah swt menetapkan keharaman atau kemakruhan tembakau, maka pastilah
ada dalil yang menunjukkannya. Akan tetapi, jika tidak ada, maka harus
dinyatakan bahwa mubah adalah hukum asalnya. Nabi Saw tawaqquf (menahan
diri) dalam masalah pengharaman khamer sebagai umm al-khabaaits (induk
segala barang yang menjijikkan); padahal beliau adalah musyarri’,
hingga turun nash qath’iy pada dirinya….” [Ibnu ’Abidin, Radd
al-Muhtaar, juz 27, hal. 266]
Di dalam Haasyiyyah al-Bajiiramiy
disebutkan, ”Jika penguasa memerintahkan perkara-perkara mubah yang di
dalamnya terdapat kemashlahatan bagi orang banyak, semacam menghisap
rokok, maka, rakyat wajib mentaatinya.” [Haasyiyyah al-Bajiiramiy ’Ala
al-Khaathib, juz 5, hal. 475]
Di dalam Fatawa al-Azhar, ’Abdurrahman
Qaraa’ah menyatakan, ”Menghisap rokok tidak pernah terjadi di masa Nabi
saw, Khulafaaur Rasyidin, shahabat, maupun tabi’in. Menghisap rokok
terjadi pada masa-masa belakangan. Para ulama berpendapaty pendapat
dalam masalah ini. Sebagian mereka mengharamkannya, dan sebagian lagi
memakruhkan. Sebagian lagi memubahkannya. Saya (’Abdurrahman Qara’ah)
menguatkan pendapat yang memakruhkannya…” [Fatawa al-Azhar, juz 5, hal.
499]
Adapun Hasanain Mohammad Makhluf
menguatkan pendapat yang memubahkannya. Di dalam Fatawa al-Azhar,
beliau menyatakan, ”Kami menyatakan; ketahuilah, sesungguhnya hukum
menghisap rokok adalah hukum ijtihaadiy. Pendapat para fukaha dalam
masalah ini tidaklah seragam. Yang benar menurut kami adalah
sebagaimana yang disebutkan di dalam Kitab Radd al-Muhtaar; bahwa hukum
menghisap rokok adalah mubah. Orang-orang yang bersandar kepada imam
empat madzhab telah memfatwakan kebolehannya; seperti penuturan dari
al-’Allamah al-Ajhuuriy al-Maalikiy di dalam tulisannya.” [Fatawa
al-Azhar, juz 7, hal. 247]
Menurut Lajnah al-Daaimah li al-Buhuuts
wa al-’Ilmiyyah wa al-Iftaa’, menghisap rokok hukumnya adalah haram. Di
dalam Kitab Fatawa Lajnah al-Daaimah li al-Buhuuts wa al-’Ilmiyyah wa
al-Iftaa’ disebutkan, ”Menghisab rokok hukumnya haram. Orang yang
terlanjur menghisap rokok, ketika hendak masuk ke dalam masjid wajib
membersihkan mulutnya untuk menghilangkan bau busuk mulutnya, dan untuk
mencegah dlarar dan gangguan bau rokok bagi orang-orang yang sholat.
Akan tetapi, menghisap rokok tidaklah membatalkan wudluk.” [Fatawa
Lajnah al-Daaimah li al-Buhuuts wa al-’Ilmiyyah wa al-Iftaa’, juz 7,
hal. 282]
Demikianlah, para fukaha kontemporer
berselisih pendapat mengenai status hukum rokok. Ada tiga pendapat
masyhur dalam masalah ini; haram, makruh, dan mubah.
Lantas, mana pendapat rajih yang wajib
kita ikuti? Untuk menjawab pertanyaan ini harus diketahui terlebih
dahulu pandangan syariat Islam terhadap hukum asal benda, baru setelah
itu hukum-hukum derivatifnya.
Hukum Asal Benda
Pada dasarnya, para ulama sepakat bahwa
benda hanya memiliki dua status hukum saja, yakni yakni halal dan
haram. Sedangkan hukum atas perbuatan manusia ada lima, yakni wajib,
sunnah, mubah, makruh, dan haram.
Para ulama juga sepakat bahwa hukum asal
benda adalah mubah, selama tidak ada dalil yang melarangnya. Ketentuan
ini didasarkan pada firman Allah SWT:
قُلْ لَا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ
مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ
دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا
أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ
فَإِنَّ رَبَّكَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
”Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam
wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang
yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah
yang mengalir atau daging babi –karena sesungguhnya semua itu kotor–
atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa yang
dalam keadaan terpaksa sedang dia tidak menginginkannya dan tidak
(pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang.” (Qs. Al-An’aam (6): 145)
Ayat ini dengan sharih menyatakan bahwa
tidak ada benda yang diharamkan oleh Allah swt, kecuali benda-benda
yang disebut di dalam ayat ini. Hanya saja, karena ayat ini Makiyyah,
maka benda-benda yang diharamkan hanya sebatas pada bangkai, darah yang
mengalir, babi, dan binatang yang disembelih atas nama selain Allah.
Setelah itu, Syaari’ menambah jenis-jenis benda yang diharamkan, baik
yang disebutkan di dalam al-Quran maupun hadits-hadits shahih; semacam
binatang bertaring dan berkuku tajam, binatang jalalah, dan lain
sebagainya.
Dengan demikian, ayat ini dengan sharih
menyatakan bahwa hukum asal dari benda adalah mubah, selama tidak ada
dalil yang mengharamkannya.
Di ayat lain, Allah SWT berfirman:
هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا
”Dialah Allah yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu…” (Qs. al-Baqarah (2): 29 )
Imam Syaukaniy di dalam Kitab Fath
al-Qadiir menyatakan, ”Ayat ini merupakan dalil yang menunjukkan bahwa
hukum asal dari benda yang diciptakan adalah mubah, hingga ada dalil
yang memalingkan hukum asalnya (mubah)…” [Imam Syaukaniy, Fath
al-Qadiir, juz 1, hal. 64]
قُلْ مَنْ حَرَّمَ زِينَةَ اللَّهِ الَّتِي أَخْرَجَ لِعِبَادِهِ وَالطَّيِّبَاتِ مِنَ الرِّزْقِ
”Katakanlah: “Siapakah yang mengharamkan
perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya
dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezki yang baik?” (Qs. al-A’raaf
(7): 32); dan masih banyak ayat lain yang memiliki pengertian senada.
Berdasarkan ayat-ayat di atas dapat
dipahami dua hal penting. <b.Pertama, sesungguhnya urusan
menghalalkan dan mengharamkan sesuatu hanyalah hak prerogatif dari
Allah SWT. Manusia tidak boleh menyematkan predikat halal dan haram
atas suatu benda, tanpa keterangan dari Allah swt dan RasulNya. Manusia
dilarang mengharamkan apa yang telah dihalalkan Allah, atau
menghalalkan apa yang diharamkan Allah SWT. Imam Baidlawiy dalam Tafsir
al-Baidlawiy¸ketika menafsirkan surat Al-An’aam:145, beliau
menyatakan, ”Di dalam ayat ini ada peringatan (tanbih) bahwa
pengharaman sesuatu hanya diketahui dengan wahyu, bukan dengan hawa
nafsu”. [Imam Baidlawiy, Tafsir al-Baidlawiy (Anwaar al-Tanziil wa
Asraar al-Ta`wiil), juz 2, hal. 213]. Kedua, hukum asal benda adalah
mubah selama tidak ada dalil yang mengharamkannya.
الأ صل فى الأشياء اباحة ما لم يرد دليل التحريم
“Hukum asal dari benda adalah mubah selama tidak dalil yang mengharamkan”
Walhasil, semua benda yang ada di alam
ini telah ditetapkan kemubahannya oleh Allah SWT, kecuali benda-benda
tertentu yang diharamkanNya.
Status Hukum Rokok
Hukum Asal Rokok
Tembakau dan cengkeh yang menjadi bahan
utama pembuatan rokok adalah benda-benda yang berhukum mubah. Sebab,
tidak ada satupun nash sharih yang mengharamkan keduanya, baik dalam
al-Quran maupun sunnah. Dalam keadaan seperti ini; status hukum
tembakau dan cengkeh harus dikembalikan kepada konteks hukum asalnya,
yakni mubah.
Jika benda-benda tersebut (tembakau dan
cengkeh) digunakan secara bersama-sama atau terpisah, maka
penggunaannya diperbolehkan. Dengan demikian, produk yang menggunakan
bahan baku tembakau, cengkeh, atau benda-benda mubah lainnya, mengikuti
hukum bahan bakunya. Jika bahan bakunya berhukum mubah, maka produk
olahannya juga berhukum mubah. Oleh karena itu, selama rokok dibuat
dari bahan-bahan mubah, maka status hukum rokok juga mubah, bukan haram
atau makruh.
’Allamah ’Abd al-Ghaniy An Nablusiy, di
dalam tulisannya menyatakan bahwa tidak ada satu pun dalil syariat yang
mengharamkan ataupun memakruhkan rokok; juga tidak terbukti bahwa
rokok itu memabukkan, melemahkan, atau menimbulkan bahaya secara umum
pada orang yang menghisapnya, hingga ia menjadi haram atau makruh. Oleh
karena itu, rokok termasuk dalam kaedah ”al-Ashl fi al-Asyyaa’
Ibaahah”. [Ibnu ’Abidin, Radd al-Muhtaar, juz 27, hal. 266]
Di dalam Kitab Fatawa al-Azhar,
”…Pendapat yang terpilih adalah yang pertama (hukum asal dari sesuatu
adalah mubah). Pasalnya, seperti yang dituturkan dalam Kitab al-Tahrir,
menurut jumhur Hanafiyyah dan Syafiyyah, pendapat yang kuat adalah
hukum asal dari benda adalah mubah…” [Fatawa al-Azhar, juz 7, hal. 247]
Ini dari sisi status hukum bendanya. Adapun dari sisi hukum perbuatannya, yakni merokok; harus ada perincian lebih mendalam.
Pertama , jika seseorang merokok, dan
menyebabkan bahaya secara pasti pada dirinya (muhaqqah), maka orang
tersebut dilarang merokok, dikarenakan telah tampak bahaya yang nyata
bagi dirinya. Sebab, jika benda mubah mengandung atau menimbulkan
dlarar (bahaya) bagi individu tertentu; dan dlararnya bersifat muhaqqah
(terbukti) bagi individu tersebut, maka benda itu haram dikonsumsi
oleh individu itu; sedangkan hukum asal benda tersebut tetaplah mubah,
bukan haram. Udang misalnya, hukum asalnya adalah mubah. Akan tetapi,
bagi orang-orang tertentu, udang bisa mendatangkan bahaya (dlarar) yang
bersifat muhaqqah. Dalam kondisi semacam ini; orang tersebut dilarang
(haram) mengkonsumsi udang, dikarenakan telah terbukti bahaya udang
bagi dirinya. Hanya saja, hukum asal udang tetaplah mubah, bukan haram.
Sebab, adanya dlarar (bahaya) pada benda-benda mubah, tidaklah
mengubah status kemubahan dari benda tersebut. [Syaikh Taqiyyuddin An
Nabhani, al-Syakhshiyyah al-Islaamiyyah, juz 3, hal. 459] Oleh karena
itu, individu-individu lain tetap diperbolehkan mengkonsumsi udang
semampang tidak menyebabkan dlarar yang bersifat muhaqqah bagi dirinya.
Ketentuan di atas didasarkan pada
riwayat yang dituturkan oleh Ibnu Hisyam di dalam Kitab Siirahnya,
”Ketika Rasulullah saw melintas di Hijr, beliau berhenti di sana. Pada
saat itu, orang-orang meminum air dari sumur Hijr. Ketika, para
shahabat sedang istirahat, beliau saw bersabda, ”Janganlah kalian minum
dari air sumur Hijr, janganlah kalian berwudluk dengan airnya untuk
sholat. Adonan roti apapun yang kalian buat dengan menggunakan airnya,
berikanlah kepada onta, dan janganlah kalian memakannya sedikitpun. Dan
janganlah seorang diantara kalian keluar malam sendirian, kecuali
ditemani oleh temannya. Para shahabat melaksanakan apa yang
diperintahkan oleh Nabi Saw, kecuali dua orang laki-laki dari Bani
Sa’idah. Salah satu dari orang itu keluar untuk memenuhi urusannya,
sedangkan yang lain keluar untuk mencari onta miliknya. Adapun orang
yang pergi untuk memenuhi urusannya, ia jatuh sakit. Sedangkan orang
yang pergi untuk mencari ontanya, ia diterbangkan angin hingga
terlembar di Jabalaiy Thaiyyi’. Kejadian ini disampaikan kepada
Rasulullah Saw. Beliau bersabda, ”Bukankah aku telah melarang kalian
agar tak seorangpun diantara kalian pergi sendirian, kecuali disertai
teman? Lalu, beliau Saw mendoakan orang yang jatuh sakit ketika hendak
bepergian, dan sembuhlah ia dari sakitnya. Sedangkan laki-laki lain
yang jatuh di Jabalaiy Thaiyyi`, sesungguhnya kabilah Thai` menunjukkan
kepada Rasulullah Saw ketika beliau Saw tiba di Madinah”.[HR. Ibnu
Hisyam dan Sirah Ibnu Hisyam]
Berdasarkan riwayat ini dapat
disimpulkan; perkara-perkara yang hukum asalnya mubah, jika di dalamnya
mengandung bahaya yang pasti (muhaqqah), maka perkara itu berhukum
haram, sedangkan hukum asalnya tetaplah mubah. Sebab, minum air dari
sumur manapun, hukum asalnya adalah mubah, termasuk air sumur Hijr.
Larangan nabi saw agar para shahabat tidak meminum airnya, tidak
menggunakannya untuk berwudluk, dan untuk membuat adonan roti,
dikarenakan air tersebut mengandung bahaya. Keluarnya seorang laki-laki
di waktu malam sendirian, juga termasuk perkara mubah. Adanya larangan
dari Nabi saw agar para shahabat tidak keluar pada waktu malam di
tempat itu seorang diri disebabkan karena bahaya (dlarar). Dengan
demikian, perkara mubah (baik benda maupun perbuatan), jika perkara
tersebut mengandung bahaya, maka hukumnya menjadi haram (karena bahaya
yang dikandungnya), sedangkan hukum asalnya tetaplah mubah.
Kedua , Bila dilakukan di dalam masjid,
hukumnya adalah makruh. Pasalnya ada larangan dari Nabi Mohammad saw
bagi orang yang memakan bawang putih atau bawang merah masuk ke dalam
masjid, dikarenakan bau menyengat yang dihasilkan dari keduanya. Imam
Bukhari menuturkan sebuah hadits dari Jabir bin ’Abdullah ra bahwasanya
Rasulullah saw bersabda;
مَنْ أَكَلَ ثُومًا أَوْ بَصَلًا فَلْيَعْتَزِلْنَا أَوْ لِيَعْتَزِلْ مَسْجِدَنَا
”Barangsiapa memakan bawang putih atau
bawang merah, hendaknya ia memisahkan diri dari kami, atau memisahkan
diri dari masjid kami.” [HR. Imam Bukhari]
Imam Bukhari juga mengetengahkan sebuah hadits bahwasanya Rasulullah Saw bersabda:
مَنْ أَكَلَ ثُومًا أَوْ بَصَلًا
فَلْيَعْتَزِلْنَا أَوْ قَالَ فَلْيَعْتَزِلْ مَسْجِدَنَا وَلْيَقْعُدْ
فِي بَيْتِهِ وَأَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
أُتِيَ بِقِدْرٍ فِيهِ خَضِرَاتٌ مِنْ بُقُولٍ فَوَجَدَ لَهَا رِيحًا
فَسَأَلَ فَأُخْبِرَ بِمَا فِيهَا مِنْ الْبُقُولِ فَقَالَ قَرِّبُوهَا
إِلَى بَعْضِ أَصْحَابِهِ كَانَ مَعَهُ فَلَمَّا رَآهُ كَرِهَ أَكْلَهَا
قَالَ كُلْ فَإِنِّي أُنَاجِي مَنْ لَا تُنَاجِي
”Barangsiapa memakan bawang putih atau
bawang merah, hendaklah ia memisahkan diri dari kami, atau beliau
bersabda, ”Hendaknya ia memisahkan diri dari masjid kami dan hendaknya
ia duduk di rumahnya”. Sesungguhnya, Nabi saw diberi sebuah periuk yang
di dalamnya terdapat sayur-sayuran. Beliau mendapati bau dari sayuran
itu. Lalu, beliau bertanya, dan beliau diberitahu apa yang ada di
sayuran itu. Lalu ia (perawiy) berkata, “Para shahabat mendekatkan
periuk itu ke beberapa shahabat yang bersama Nabi. Ketika beliau
melihatnya, maka beliau tidak suka memakannya. Beliau saw bersabda,
“Makanlah. Sesungguhnya aku berbisikan dengan malaikat”. [HR. Imam
Bukhari]
Imam Muslim meriwayatkan hadits dari Jabir bin ’Abdullah ra, bahwasanya Rasulullah Saw bersabda:
مَنْ أَكَلَ ثُومًا أَوْ بَصَلًا
فَلْيَعْتَزِلْنَا أَوْ لِيَعْتَزِلْ مَسْجِدَنَا وَلْيَقْعُدْ فِي
بَيْتِهِ وَإِنَّهُ أُتِيَ بِقِدْرٍ فِيهِ خَضِرَاتٌ مِنْ بُقُولٍ
فَوَجَدَ لَهَا رِيحًا فَسَأَلَ فَأُخْبِرَ بِمَا فِيهَا مِنْ الْبُقُولِ
فَقَالَ قَرِّبُوهَا إِلَى بَعْضِ أَصْحَابِهِ فَلَمَّا رَآهُ كَرِهَ
أَكْلَهَا قَالَ كُلْ فَإِنِّي أُنَاجِي مَنْ لَا تُنَاجِي
”Barangsiapa memakan bawang putih atau
bawang merah, hendaknya ia memisahkan diri dari kami, atau memisahkan
diri dari masjid kami, dan hendaknya ia duduk di rumahnya”. Nabi Saw
diberi sebuah periuk yang di dalamnya ada sayuran-sayuran, kemudian
beliau saw mendapati bau. Lantas, beliau bertanya, dan beliau
diberitahu apa yang ada di dalam sayuran itu. Kemudian perawi berkata,
”Para mendekatkannya kepada sebagian shahabatnya. Tatkala beliau
mengetahuinya, beliau tidak suka memakannya, seraya berkata, ”Makanlah.
Sesungguhnya aku berbisikan dengan malaikat”. [HR. Imam Muslim]
Hadits-hadits ini menunjukkan bahwa Nabi
saw melarang orang yang memakan bawang putih atau bawang merah
mendekati masjid disebabkan karena baunya yang mengganggu orang lain.
Dengan demikian, larangan Nabi saw disebabkan karena aroma atau bau
menyengatnya; yang ini hal ini tentunya menganggu orang lain yang
hendak beribadah kepada Allah SWT. Alasan ini diperkuat oleh
hadits-hadits berikut ini. Dalam hadits yang dituturkan oleh Imam
Muslim dari Jabir ra , bahwasanya ia berkata:
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ أَكْلِ الْبَصَلِ وَالْكُرَّاثِ فَغَلَبَتْنَا
الْحَاجَةُ فَأَكَلْنَا مِنْهَا فَقَالَ مَنْ أَكَلَ مِنْ هَذِهِ
الشَّجَرَةِ الْمُنْتِنَةِ فَلَا يَقْرَبَنَّ مَسْجِدَنَا فَإِنَّ
الْمَلَائِكَةَ تَأَذَّى مِمَّا يَتَأَذَّى مِنْهُ الْإِنْسُ
”Rasulullah saw melarang makan bawang
mereka dan bawang bakung. Lalu, kebutuhan begitu mendesak kami, hingga
akhirnya kami memakannya. Nabi saw bersabda, ”Barangsiapa memakan
tumbuhan ini, janganlah mendekati masjid kami. Sesungguhnya malaikat
terganggu karenanya, begitu pula manusia.” [HR. Imam Muslim]
Imam Muslim juga meriwayatkan sebuah hadits dari Jabir ra, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:
مَنْ أَكَلَ الْبَصَلَ وَالثُّومَ
وَالْكُرَّاثَ فَلَا يَقْرَبَنَّ مَسْجِدَنَا فَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ
تَتَأَذَّى مِمَّا يَتَأَذَّى مِنْهُ بَنُو آدَمَ
”Barangsiapa memakan bawang merah,
bawang putih, dan bawang bakung, janganlah mendekati masjid kami.
Sesungguhnya malaikat merasa terganggu, sebagaimana anak Adam merasa
terganggu darinya.” [HR. Imam Muslim]
Imam Muslim juga menuturkan sebuah hadits dari Umar ra bahwasanya ia sedang berkhuthbah;
إِنَّكُمْ أَيُّهَا النَّاسُ تَأْكُلُونَ
شَجَرَتَيْنِ لَا أَرَاهُمَا إِلَّا خَبِيثَتَيْنِ هَذَا الْبَصَلَ
وَالثُّومَ لَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ إِذَا وَجَدَ رِيحَهُمَا مِنْ الرَّجُلِ فِي الْمَسْجِدِ أَمَرَ
بِهِ فَأُخْرِجَ إِلَى الْبَقِيعِ فَمَنْ أَكَلَهُمَا فَلْيُمِتْهُمَا
طَبْخًا حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا
إِسْمَعِيلُ ابْنُ عُلَيَّةَ عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي عَرُوبَةَ قَالَ ح و
حَدَّثَنَا زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ وَإِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ
كِلَاهُمَا عَنْ شَبَابَةَ بْنِ سَوَّارٍ قَالَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ
جَمِيعًا عَنْ قَتَادَةَ فِي هَذَا الْإِسْنَادِ مِثْلَهُ
”Wahai manusia, sesungguhnya kalian
memakan dua tanaman yang menurutku tidak baik, yakni bawang merah dan
bawang puti. Sungguh, dahulu aku melihat Rasulullah saw jika mendapati
bau keduanya dari seseorang, beliau menyuruh orang itu keluar dari
masjid. Karenanya, jika kalian ingin memakannya, hendaklah kalian
memasaknya terlebih dahulu.” [HR. Imam Muslim]
Berdasarkan hadits-hadits ini dapatlah
ditarik kesimpulan, bahwa orang yang mengkonsumsi sesuatu yang
menimbulkan bau tidak sedap, dan berpotensi menganggu orang lain,
semacam rokok dimakruhkan masuk ke dalam masjid. Pasalnya, asap rokok
jelas-jelas menyebarkan aroma atau bau menyengat yang sangat mengganggu
orang lain. Atas dasar itu, seseorang makruh merokok di dalam masjid
dikarenakan bisa mengganggu orang lain.
Begitu pula jika seseorang merokok di
tempat umum yang berpotensi mengganggu orang lain, maka hukumnya
makruh, berdasarkan riwayat-riwayat di atas.
Ketiga, jika seseorang merokok, dan
tidak menimbulkan dlarar yang bersifat muhaqqah pada dirinya, serta
dilakukan di tempat atau komunitas yang tidak menganggu orang lain,
maka status hukumnya adalah boleh. Dalilnya adalah kebolehan
memanfaatkan benda-benda mubah. Selain itu, ’illat yang menyebabkan
pengharaman rokok, yakni bahaya yang bersifat muhaqqah tidak terwujud
pada orang tersebut; dan ia melakukan aktivitas di suatu tempat dan
komunitas yang tidak terganggu oleh asap rokok.
Wallahu A’lam bish Shawab.
Catatan Kaki
[1] Al-Amidiy, al-Ihkaam fi Ushuul al-Ahkaam, juz II, hal. 309; Imam Syaukaniy, Irsyaad al-Fuhuul, hal.250
[1] Al-Amidiy, al-Ihkaam fi Ushuul al-Ahkaam, juz II, hal. 309; Imam Syaukaniy, Irsyaad al-Fuhuul, hal.250
[2] Imam Syaukaniy, Irsyaad al-Fuhuul, hal.250
[3] ibid, hal. 309. Lihat juga, Qadliy al-Nabhani, al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, juz I, hal.197
[4] Al-Amidiy, al-Ihkaam fi Ushuul al-Ahkaam, juz II, hal.309
[5]Imam al-Amidiy, menyatakan,
"Syarat-syarat seorang Mujtahid dalam berijtihad ada dua; (1) ia harus
mengetahui Wujud Allah SWT, Shifat-shifat WajibNya, serta
KesempurnaanNya; dan ia juga mengetahui bahwa Allah swt adalah Wajib
al-Wujud (Wajib Ada) karena DzatNya, Hidup, Mengetahui, Memiliki
Kemampuan, Berkehendak, Berkata-kata, hingga tergambar dariNya masalah
taklif. Ia harus menyakini Rasulullah, dan semua syariat manqul yang
diturunkan kepadanya, mukjizat yang dimilikinya, tanda-tanda kenabian
yang menakjubkan, agar semua pendapat dan hukum yang disandarkan kepada
beliau saw benar-benar haq. Namun demikian, seorang mujtahid tidak
disyaratkan menguasai ilmu kalam secara rinci dan mendalam, seperti
halnya ulama-ulama ahli kalam yang masyhur. Akan tetapi, ia cukup
mengetahui perkara-perkara yang berhubungan dengan masalah keimanan
seperti yang telah kami sampaikan di atas. Seorang mujtahid juga tidak
disyaratkan mengetahui dalil-dalil syariat secara terperinci hingga
taraf bisa menetapkan dan memilah-milahkan dalil, dan melenyapkan
kesamaran dari dalil-dalil tersebut, sebagaimana ahli Ushul. Namun, ia
hanya cukup mengetahui dalil-dalil yang berhubungan perkara-perkara
tersebut secara global, dan tidak harus rinci. (2) Seorang Mujtahid
harus mengetahui dan memahami sumber-sumber hukum syariat beserta
bagian-bagiannya; metodologi penetapannya, arah dilalah atas
madlul-madlulnya, perbedaan martabatnya, syarat-syaratnya. Ia juga
harus mengetahui arah tarjihnya jika terjadi pertentangan diantara
dalil-dalil tersebut, dan bagaimana cara menggali hukum dari dalil
tersebut. Ia juga mampu melakukan tarjih dan penetapan dalil; serta
mampu menguraikan (memisahkan) pertentangannya. Hal ini akan tercapai
jika ia mengetahui dan memahami perawi-perawi hadits, serta cara
melakukan jarh wa ta'diil, mana yang shahih dan mana yang tidak;
seperti Imam Ahmad bin Hanbal dan Yahya bin Mu'in. Ia juga harus
memahami asbab nuzul (latar belakang turunnya ayat), nasikh dan mansukh
yang terdapat di dalam nash-nash syariat. Ia juga harus mengetahui
bahasa Arab dan ilmu nahwu. Hanya saja, tidak disyaratkan ia harus
memiliki kemampuan dalam hal bahasa seperti halnya al-Asmu'iy, atau
mahir dalam masalah nahwu, seperti Imam Sibawaih dan Khalil. Akan
tetapi, ia cukup memahami konteks-konteks bahasa Arab, serta
percakapan-percakapan yang biasa terjadi diantara mereka hingga taraf
bisa membedakan dalalah al-lafadz yang terdiri dari dalalah
al-muthabiqah, al-tadlmiin, dan iltizam. Ia juga harus mengetahui mufrad
dan murkab, makna kulliy dan juz'iy , haqiqah dan majaz, makna tunggal
(al-tawathiy) dan makna pecah (al-muystarak), taraduf dan tabaayun,
nash dan dzahir, umum dan khusus, muthlaq dan muqayyad, manthuq dan
mafhum, dalalah iqtidla' dan isyarah, tanbih wa al-ima', dan lain-lain.
[6] Qadliy al-Nabhani, Al-Syakhshiyyah
al-Islamiyyah, juz I, hal.213-216. Bandingkan juga dengan Imam
al-Amidiy, al-Ihkaam fi Ushuul al-Ahkam, juz II, hal. 309-311
Klik Dibawah Ini Untuk Menambah Wawasan Anda
Baca Juga Yang Ini, Seru Loo!!
إرسال تعليق