Lembaga
dan Kegiatan Ilmu Pengetahuan Pada Masa Abbasiyah
Pribadi beberapa khalifah terutama pada masa awal
Abassiah seperti Mansur, Harun, dan Ma’mun adalah kutu buku dan sangat
mencintai ilmu pengetahuan sehingga terpengaruh dalam kebijaksanaannya yang
banyak ditujukan kepada peningkatan ilmu pengetahuan. Selain itu semua, karena permasalahan yang dihadapi
oleh umat Islam semakin kompleks dan berkembang, oleh karena itu perlu dibuka
ilmu pengetahuan dalam berbagai bidang.[9][5]
Pada masa Dinasti
Abbasiyah pengembangan keilmuan dan teknologi diarahkan ke dalam Ma’had.
Lambaga ini dikenal ada dua tingkatan. Pertama,Maktab/Kuttab dan masjid,
yaitu lembaga pendidikan terendah, tempat anak-anak mengenal dasar-dasar
bacaan, menghitung, menulis, anak-anak remaja belajar dasar-dasar ilmu agama. Kedua,
bagi pelajar yang ingin mendalami ilmunya, bisa pergi keluar daerah atau ke
masjid-masjid atau bahkan ke rumah-rumah gurunya.
Pada perkembangan selanjutnya mulai di buka
madrasah-madrasah yang di pelopori oleh Nizhamul Muluk yang memerintah pada
tahun 456- 485 H. Lembaga inilah yang kemudian yang berkembang pada masa
Dinasti Abbasyiah. Madrasah ini dapat di temukan di Baghdad, Balkar,
Isfahan, Basrah, Musail dan kota lainya mulai dari tingkat rendah, menengah,
serta meliputi segala bidang ilmu pengetahuan.
a) Gerakan Penerjemah
Pelopor gerakan
penerjemah pada awal pemerintahan Dinasti Abbasyiah adalah khalifah Al-Mansur
yang juga membangun kota Baghdad. Dia mempekerjakan orang-orang Persia yang
baru masuk Islam seperti Nuwbhat, Ibrahim al-Fazari dan Ali Ibnu Isa untuk
menerjemahkan karya-karya berbahasa Persia dalam bidang Astronomi yang sangat
berguna bagi kafilah dengan baik, dari darat maupun laut. Buku tentang
ketatanegaraan dan politik serta moral seperti kalila wa Dimma Sindhind
dalam bahasa Persia diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Selain itu, Manuskrip
berbahasa Yunani seperti logika karya Aristoteles, Al-Magest karya
Ptolemy, Arithmetic karya Nicomachus dan Gerase, Geometri karya
Euclid. Manuskrip lain yang berbahasa Yunani Klasik, Yunani Bizantium dan
Bahasa Pahlavi (Persia Pertengahan), bahasa Neo-Persia dan bahasa Syiria juga
di terjemahkan.
Penerjemahan
secara langsung dari bahasa Yunani ke dalam bahasa Arab dipelopori oleh Hunayn
Ibn Isyhaq (w. 873 H) seorang penganut Nasrani dari Syiria. Dia memperkenalkan metode penerjemahan baru yaitu
menerjemahkan kalimat, bukan kata per kata. Metode ini lebih dapat memahami isi
naskah karena struktur kalimat dalam bahasa Yunani berbeda dengan struktur
kalimat dalam bahasa Arab.
Pada
masa Al-Ma’mun karena keinginan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan demikian
pesat, dia membentuk tim penerjemah yang diketuai langsung oleh Hunayn Ibn
Isyhaq sendiri, dibantu Ishaq anaknya dan Hubaish keponakannya serta ilmuwan
lain seperti Qusta Ibn Luqa, Jocabite seorang Kristen, Abu Bisr Matta Ibn Yunus
seorang Kristen Nestorian, Ibn A’di, Yahya Ibn Bitriq dan lain-lain. Tim ini bertugas menerjemahkan naskah-naskah Yunani
terutama yang berisi ilmu-ilmu yang sangat diperlukan seperti kedokteran.
Keberhasilan penerjemahan juga didukung oleh fleksibilitas bahasa Arab dalam
menyerap bahasa Asing dan kekayaan kosakata bahasa Arab.
b) Baitul Hikmah
Baitul Hikmah merupakan perpustakaan yang juga berfungsi sebagai
pengembangan ilmu pengetahuan. Institusi ini adalah kelanjutan dari JandishapurAcademy
yang ada pada masa Sasania Persia. Namun, berbeda dari institusi pada masa
Sasania yang hanya menyimpan puisi-puisi dan cerita-cerita untuk raja, pada
masa Abbasiyah institusi ini diperluas kegunaannya. Pada masa Harun Ar-Rasyid
institusi ini bernama Khizanah al-Hikmah (Khazanah Kebijaksanaan) yang
berfungsi sebagai perpustakaan dan pusat penelitian.
Sejak tahun 815 M,
Al-Ma’mun mengembangkan lembaga ini dan diubah namanya menjadi Bait Al-Hikmah.
Pada masa ini juga, Bait Al-Hikmah dipergunakan secara lebih modern
yaitu sebagai tempat penyimpanan buku-buku kuno yang di dapat dari Persia,
Byzantium, bahkan Ethiopia dan India. Selain itu Bait Al-Hikmah
berfungsi sebagai kegiatan studi dan riset astronomi untuk meneliti
perbintangan dan matematika. Di institusi ini Al-Ma’mun mempekerjakan Muhammad
Ibn Hawarizmi yang ahli bidang al-Jabar dan Astronomi dan orang-orang Persia
bahkan Direktur perpusatakaan adalah seorang nasionalis Persia dan ahli Pahlewi
Sahl Ibn Harun.[10][6]
c) Bidang Keagamaan
Pada masa Abbasiyah,
ilmu dan metode tafsir mulai berkembang, terutama dua metode penafsiran, yaitu Tafsir
bil al-Ma’tsur dan Tafsir bi al-Ra’yi.
Dalam bidang Hadits,
mulai dikenal ilmu pengklasifikasian Hadits secara sistematis dan kronologis
seperti, Shahih, Dhaif, dan Madhu’. Bahkan juga sudah diketemukan
kritik Sanad, dan Matan, sehingga terlihat Jarrah dan Takdil
Rawi yang meriwayatkan Hadits tersebut.
Dalam
bidang Fiqh, lahir Fuqaha seperti Imam Hanafi (700-767 M), seorang hakim agung
dan pendiri Madzhab Hanafi, Malik Ibn Anas (713-795 M), Muhammad Ibn Idris
as-Syafi’i (767-820 M), Imam Ahmad Ibn Hambal (780-855 M).
Ilmu Lughah juga
berkembang dengan pesat karena bahasa Arab semakin dewasa dan memerlukan suatu
ilmu bahasa yang menyeluruh. Ilmu bahasa yang dimaksud adalah Nahwu, Sharaf,
Ma’ani, Bayan, Badi’, Arudh, dan Insya.[11][7
Kemajuan Ilmu Pengetahuan, Sains dan Teknologi
Adapun kemajuan yang
dicapai umat Islam pada masa Dinasti Abbasiyah dalam bidang ilmu Pengetahuan,
sains dan teknologi adalah :
a)
Astronomi, Muhammad Ibn
Ibrahim al-Fazari (w. 777 M), ia adalah astronom muslim pertama yang membuat
astrolabe, yaitu alat untuk mengukur ketinggian bintang. Disamping itu, masih
ada ilmuwan-ilmuwan Islam lainnya, seperti Ali Ibn Isa al-Asturlabi,
al-Farghani, al-Battani, al-Khayyam dan al-Tusi.
b)
Kedokteran, pada masa
ini dokter pertama yang terkenal adalah Ali Ibn Rabban al-Tabari pengarang buku
Firdaus al-Hikmah tahun 850 M, tokoh lainnya adalah ak-razi, al-Farabi,
dan Ibn Sina.
c)
Ilmu Kimia, bapak kimia
Islam adalah Jabir Ibn Hayyan (w. 815 M), al-Razi, dan al-Tuqrai yang hidup
pada abad ke 12 M.
d) Sejarah dan Geografi, pada masa ini sejarawan ternama
abad ke 3 H adalah Ahmad Ibn al-Yakubi, Abu Ja’far Muhammad Ja’far Ibn Jarir
al-Tabari. Kemudian ahli ilmu Bumi yang termasyur adalah Ibn Khurdazabah
(820-913 M).[12][8]
Disintigrasi Politik
Secara politis, kekuasaan politik bani Abbasiyah mengalami
masa keemasannya hanya pada periode pertama sebelum berpindahnya dominasi
kekuasaan politik ke tangan bangsa Turki pada periode kedua. Pada periode ini
dan seterusnya, kekhilafahan bani Abbasiyah lebih didominasi oleh disintegrasi
yang terwujud dalam bentuk pemisahan diri dari dominasi pemerintahan pusat dan
perebutan kekuasaan di pusat pemerintahan.
Dalam hal pemisahan diri dari
dominasi pemerintahan pusat, penulis melihat adanya dua alternatif, yang
pertama adalah keinginan daerah-daerah yang berada di bawah kekuasaan bani
Abbasiyah untuk lebih berkuasa dan yang kedua karena para khalifah bani
Abbasiyah lebih mementingkan pembangunan ilmu pengetahuan dan peradaban
dibandingkan dengan kekuasaan politik. Para khalifah ini nampak merasa cukup
dengan upeti-upeti yang diberikan daerah-daerah provinsi sebagai lambang
kepatuhan kepada pemerintah pusat. Satu hal yang pasti, pemerintahan bani
Abbasiyah sejak diangkatnya orang-orang Turki untuk menduduki jabatan sebagai
tentara profesional, memudar yang diikuti oleh kemerdekaan daerah-daerah
provinsi dari pemerintahan pusat di Baghdad.
Berkenaan dengan pemisahan diri
dari dominasi pemerintahan pusat ini, Badri Yatim menyebutkan lebih dari 20
dinasti-dinasti kecil yang memisahkan diri dari pemerintahan bani Abbasiyah
sejak 820 M. hingga keruntuhannya pada 1258 M., baik dari latar belakang
kebangsaan seperti bangsa Arab, Persia, Turki dan Kurdi maupun dari latar
belakang paham keagamaan seperti Syi’ah dan Sunni.5
Klik Dibawah Ini Untuk Menambah Wawasan Anda
Baca Juga Yang Ini, Seru Loo!!
إرسال تعليق