PENGARUH PERSIA PADA ZAMAN ABBASIYAH

السبت، 2 مارس 20130 komentar



PENGARUH PERSIA PADA ZAMAN ABBASIYAH

Bani Abbasiyah mewarisi imperium besar dari Bani Umayyah. Mereka dapat memungkinkan untuk mencapai hasil lebih banyak karena landasannya telah dipersiapkan oleh Bani Umayyah yang besar dan Abasiyyah yang pertama memanfaatkannya. Penggantian Umayyah oleh Abasiyyah ini bukan sekedar penggantian dinasti, tetapi merupakan suatu revolusi dalam sejarah Islam, suatu titik balik yang sama pentingnya dengan Revolusi Perancis dan Revolusi Rusia di dalam Sejarah Barat[1][1].
Bani Abbasiyah berada di tengah-tengah bangsa Persia, sehingga banyak dipengaruhi oleh peradaban bangsa Persia. Jika bani Umayyah dengan Damaskus sebagai Ibu Kotanya mementingkan kebudayaan Arab, maka bani Abbasiyah dengan memindahkan Ibu kotanya ke Baghdad telah agak jauh dari pengaruh Arab. Baghdad terletak di daerah yang banyak dipengaruhi oleh kebudayaan Persia. Di samping itu, tangan kanan yang membawa Bani Abbasiyah kepada kekuasaan adalah orang-orang Persia. Dan setelah berkuasa, cendekiawan Persialah yang mereka jadikan sebagai pembesar-pembesar di istana.
Dengan naiknya kedudukan orang-orang Persia dan kemudian orang-orang Turki dalam pemerintahan bani Abbasiyah, kedudukan orang-orang Arab menurun. Masa ini bukanlah masa ekspansi daerah kekuasaan seperti pada masa Umayyah tetapi masa pembentukan kebudayaan dan peradaban Islam. Berbagai macam disiplin keilmuan meningkat pesat. Perguruan Tinggi yang didirikan pada zaman ini antara lain Baitul Hikmah di Baghdad dan Al-Azhar di Kairo yang hingga kini masih harum namanya sebagai universitas Islam yang termasyhur di seluruh dunia.

Periode ini adalah periode peradaban Islam yang tertinggi dan memiliki pengaruh walaupun tidak secara langsung pada tercapainya peradaban modern di barat sekarang. Periode kemajuan Islam ini menurut Christoper Dawson, bersamaan masanya dengan abad kegelapan di Eropa. Pada abad ke-11 Eropa mulai sadar akan adanya peradaban Islam  yang tinggi di Timur dan melalui Spanyol, Sicilia dan Perang Salib peradaban itu sedikit demi sedikit di transfer ke Eropa. Dari Islam-lah Eropa mempelajari semua ilmu pengetahuan. Maka tidak mengherankan jika Gustave Lebon mengatakan bahwa “orang Arab-lah yang menyebabkan kita mempunyai peradaban, karena mereka adalah imam kita selama enam abad”.
Dinasti Abbasiyah didirikan pada tahun 132 H/750 M, oleh Abul Abbas Ash-Shafah yang sekaligus sebagai khalifah pertama. Kekuasaan dinasti Abbasiyah berlangsung dalam rentang waktu yang panjang, yaitu selama lima abad dari tahun 132-656 H (750-1258 M). berdirinya pemerintahan ini dianggap sebagai kemenangan pemikiran yang pernah dikumandangkan oleh Bani Hasyim (Alawiyun) setelah meninggalnya Rasulullah dengan mengatakaan bahwa yang berhak untuk berkuasa adalah keturunan Rasulullah dengan mengatakan bahwa yang berhak untuk berkuasa adalah keturunan Rasulullah dan anak-anaknya.
Propaganda Abbasiyah dilaksanakan dengan strategi yang cukup matang sebagai gerakan rahasia. Akan tetapi Imam Ibrahim pemimpin Abbasiyah yang berkeinginan mendirikan kekuasaan Abbasiyah, gerakannya diketahui oleh khalifah Umayyah terakhir yaitu Marwan bin Muhammad. Ibrahim tertangkap oleh pasukan Dinasti Umayyah dan dipenjarakan di Haran sebelum akhirnya di eksekusi. Ia mewasiatkan kepada adiknya yaitu Abul Abbas untuk menggantikan kedudukannya ketika tahu ia akan dibunuh dan memerintahkan untuk pindah ke Kufah. Dan pemimpin propaganda dibebankan kepada Abu Salamah[2][2].
Penguasa Umayyah di Kufah, Yazid bin Umar bin Hubairah ditaklukkan oleh Abbasiyah dan diusir ke Wasit. Abu Salamah selanjutnya berkemah di Kufah yang telah ditaklukkan. Abdullah bin Ali, salah seorang paman Abul abbas diperintahkan untuk mengejar khalifah Umayyah terakhir, Marwan bin Muhammad bersama pasukannya yang melarikan diri. Khalifah ini terus menerus melarikan diri hingga ke Fustat di Mesir dan akhirnya terbunuh di Busir wilayah Al-Fayyum, tahun 132 H/750 M. dengan demikian maka tumbanglah kekuasaan dinasti Umayyah dan berdirilah Dinasti Abbasiyah yang dipimpin oleh khalifah pertamanya, yaitu Abul Abbas Ash-Shafah[3][3] dengan pusat kekuasaan awalnya di Kufah.
Selama dinasti Abbasiyah berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial, dan budaya. Berdasarkan perubahan tersebut, para sejarawan biasanya membagi masa pemerintahan Bani Abbasiyah dalam lima periode :
1.  Periode Persia I, yaitu suatu periode di mana pola politik dan pemerintahan dipengaruhi oleh orang-orang Persia.
2.  Periode Turki II, yaitu suatu periode di mana pola politik dan pemerintahan dipengaruhi oleh orang-orang Turki.
3.  Periode Persia II, di mana orang-orang Persia kembali mempengaruhi pola politik dan pemerintahan yang sejatinya dikuasai oleh bani Buwaih.
4.  Periode Turki II, di mana orang-orang Turki kembali mempengaruhi pola politik dan pemerintahan yang dikuasai oleh bani Seljuk.
5.  Periode Tanpa Pengaruh selain arab. Periode ini hanya efektif di Baghdad hingga masa kehancuran peradaban Islam.[4]
Pada periode Persia pertama yang berlangsung dari 750-847 M ini pengaruh kerajaan Persia pada pemerintahan bani Abbasiyah nampak pada corak pemerintahannya yang otokratis dan gaya pemerintahannya yang seakan mewakili Allah di bumi di mana khalifah diterjemahkan bukan khalifah Rasulillah tapi khalifah Allah. Maka dari itu pada masa ini terdapat gelar-gelar baru yang pada masa bani Umayah belum ada dengan memakai kosakata « Allah ». seperti Al Hakim bi amrillah dan Al Hafizh lidinillah. Menurut Abdul Mun’im Majid, tujuan pemakaian gelar ini adalah untuk menopang kekuasaan mereka.[5]
Selain itu, pengaruh Persia pada pemerintahan bani Abbasiyah dapat dilihat diangkatnya pejabat pemerintahan dari orang-orang Persia. Harun Nasution menyebutkan bahwa Pengawal Al Mansur dan Wazir, jabatan pemerintahan baru yang membawahi depertemen-departemen dalam pemerintahan bani Abbasiyah adalah orang-orang Persia[6]. Sebagai konsekuensi dari sikap condong kepada keturunan Persia, pemerintahan bani Abbasiyah berada dalam kondisi sulit di mana terjadi kemarahan orang-orang Arab, baik dari kalangan bani Umayah sendiri maupun dari kalangan bani Abbas sendiri terhadap pemerintahan dengan terjadinya pergerakan protes yang dilancarkan oleh Abdullah bin Ali, saudara khalifah Al Manshur sendiri.
Selain itu, kemarahan juga timbul dari orang-orang Persia sendiri yang merasa berada di atas angin dan mendapatkan kesempatan baik untuk membangkitkan kembali keturunan Ali dengan gerakan perlawanannya yang dipimpin oleh Abu Muslim Al Khurasani. A. Hasjmi menulis, bahwa pada akhirnya gelombang kemarahan tersebut dapat ditangani oleh khalifah Al Manshur.[7]
Kekhalifahan Bani Abbas bertumpu pada banyak sistem yang pernah dipraktekkan oleh bangsa-bangsa sebelumnya baik yang muslim maupun non-muslim. Dasar-dasar pemerintahan Abbasiyah diletakkan oleh khalifah kedua, Abu Ja’far Al-Mansur yang dikenal sebagai pembangun khilafah tersebut. Sedangkan sebagai pendiri Abbasiyah ialah Abul Abbas as-Shaffah. Dukungan dan sumbangan bangsa Persia kentara sekali ketika Abbasiyah berdiri dengan munculnya Abu Muslim Al-Khurrasani dan memang wilayah operasional bangsa ini berada di bekas reruntuhan kerajaan Persia. Kebangkitan orang-orang Persia itu antara lain juga karena sudah bosannya mereka terhadap kebijaksanaan pemerintah Umayyah yang diskriminatif terhadap bangsa non-Arab yang menjadikan mereka warga negara kelas dua (kaum mawalli). Maka tidak mengherankan bila kekhalifahan Abbasiyah mengambil nilai-nilai Persia dalam sistem pemerintahannya. 
Bangsa Persia mempercayai adanya hak agung raja-raja yang didapat Tuhan, oleh karena itu para khalifah Abbasiyah memperoleh kekuasaan untuk mengatur negara langsung dari Allah bukan dari rakyat yang berbeda dari sistem kekhalifahan yang diterapkan oleh Khulafaurrasyidin yang dipilih oleh rakyat. Kekuasaan tertinggi mereka diletakkan pada ulama, sehingga pemerintahannya merupakan sistem teokrasi[8][4]. Pada periode pertama, pemerintahan Bani Abbas mencapai masa keemasannya. Secara politis, para khalifah betul-betul tokoh yang kuat dan merupakan pusat kekuasaan politik dan agama sekaligus. Kemakmuran rakyat mencapai tingkat tertinggi.
     Setelah pemerintahan Abul Abbas (750-754 M) yang relatif sangat singkat, dilanjutkan dengan pemerintahan Abu Ja’far Al-Mansur (754-775 M). dengan keras dia hadapi lawan-lawannya dari Umayyah, Khawarij, dan juga Syi’ah yang merasa dikucilkan dari kekuasaan. Pada mulanya ibu kota negara adalah Al-Hasyimiyah, dekat Kufah. Namun untuk lebih memantapkan dan menjaga stabilitas negara yang baru berdiri itu, Al-Manshur memindahkan ibu kota negara ke kota yang baru di bangunnya, yaitu Baghdad. Disini Al-Mansur melakukan konsolidasi dan penertiban pemerintahannya. Dia mengangkat sejumlah personal untuk menduduki jabatan di lembaga eksekutif dan yudikatif. Di bidang pemerintahn ini, dia menciptakan tradisi baru dengan mengangkat seorang wazir sebagai koordinator departemen. Dia juga membentuk lembaga protokol negara, sekretaris negara dan kepolisian disamping membenahi angkatan bersenjata.
Popularitas daulah Abbasiyah mencapai puncaknya di zaman khalifah Harun Ar-Rasyid (786-809 M) dan putranya Al-Ma’mun (813-833 M). tingkat kemakmuran yang paling tinggi terwujud pada zaman khalifah ini. Kesejahteraan sosial, kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan serta kesusastraan berada pada zaman keemasannya. Pada masa inilah negara Islam menempatkan dirinya sebagai negara terkuat dan tak tertandingi.

[1][1] Syed Mahmudunnashir, Islam Konsepsi dan Sejarahnya, Bandung : Remaja Rosda Karya, 1994, hal. 246
[2][2] Samsul Munir Amin, Sejarah peradaban Islam, Jakarta : Amzah, 2009, hal. 139
[3][3] Ash-Shafah artinya sang penumpah darah. Menurut Prof. Dr. Hamka, Abul Abbas Ash-Shafah dikenal sebagai orang yang masyhur karena kedermawanannya, kuat iangatannya, keras hati, tetapi sangat besar dendamnya kepadda Bani Umayyah. Sehingga dengan tidak mengenal belas kasihan, ia membunuh keturunan-keturunan Bani Umayyah itu. Lihat Prof. Dr. Hamka, Sejarah Umat Islam, jilid II, Jakarta : Bulan Bintang, 1981, hal. 102
[4] Badri Yatim, Op. Cit., h.50 dengan sedikit modifkasi.
[5] Abdul Mun’im Majid, Sejarah Kebudayaan Islam, Pustaka. Bandung. Cet. ke 1. 1997. h. 17.
[6] Harun Nasution, Op. Cit., h. 67-68
[7] A. Hasjmi, Op. Cit. h. 222.
[8][4] Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, Jakarta: Logos, 1997, Hal.101
[9][5] M. Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007, hlm 174.
[10][6] http://kholistyo.wordpress.com/
[11][7] Ajid thahir,Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam, Jakarta: PT Grafindo Persada, 2004 hlm 51-52.
[12][8] Ibid

Klik Dibawah Ini Untuk Menambah Wawasan Anda
Baca Juga Yang Ini, Seru Loo!!
Share this article :

إرسال تعليق

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. ilmu ngawor tepak - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger