SEJARAH PERANG UHUD

الأحد، 3 مارس 20130 komentar



SEJARAH PERANG UHUD

Pengalaman pahit yang dirasakan oleh kaum Quraisy dalam perang Badar telah menyisakan luka mendalam nan menyakitkan. Betapa tidak, walaupun jumlah mereka jauh lebih besar dan perlengkapan perang mereka lebih memadai, namun teryata. Mereka harus menanggung kerugian materi yang tidak sedikit.
 yang lebih menyakitkan mereka adalah hilangnya para tokoh mereka. Rasa sakit ini, ditambah lagi dengan tekad untuk mengembalikan pamor Suku Quraisy yang telah terkoyak dalam Perang Badar, mendorong mereka melakukan aksi balas dendam terhadap kaum Muslimin. Sehingga terjadilah beberapa peperangan setelah Perang Badar. Perang Uhud termasuk di antara peperangan dahsyat yang terjadi akibat api dendam ini. Disebut perang Uhud karena perang ini berkecamuk di dekat gunung Uhud. Sebuah gunung dengan ketinggian 128 meter kala itu, sedangkan sekarang ketinggiannya hanya 121 meter. Bukit ini berada di sebelah utara Madinah dengan jarak 5,5 km dari Masjid Nabawi.
Kejadian Perang Uhud
                 Sejak terjadinya perang badr pihak Quraisy sudah tidak pernah tenang lagi. Juga peristiwa Sawiq tidak membawa keuntungan apa-apa buat mereka. Lebih-lebih karena kesatuann Zaid in harits telah berhasil mengambil perdagangan mereka ketika mereka hendak  pergi ke Syam melalui jalan Irak. Hal ini mengingatkan mereka pada korban-korban Badr dan menambah besar keinginan mereka hendak membalas dendam. Bagaimana Quraisy hendak meelupakan peristiwa itu, sedang mereka adalah bangsawan-bangsawan dan pemimpin-pemimpin Makkah, pembesar-pembesar yang angkuh dan memiiki kedudukan terhormat. Bagaimana mereka akan dapat melupakannya, padahal wanita-wanit Mekkah selalu ingat akan korban-korban yang terdiri dari anak, atau saudara, bapak, suami atau teman sejawat, Mereka selalu berkabung, selalu menangisi dan meratapi.[1]
                 Orang-orang Quraisy kemudian sepakat menyiapkan angkatan perang guna memerangi Muhammad, dengan memperbesar jumlah dan perlengkapannya. Selanjutnya tenaga kabilah-kabilah akan dikerahkan dan agar ikut serta bersama mereka, menuntut balas terhadap kaum Muslimin. Tak hanya kaum pria, pihak Quraisy juga membawa pula kaum wanita mereka, dipimpin oleh Hindun, istri   Abu Sufyan. Dialah orang yang paling panas hati ingin membalas dendam, karena dalam peristiwa Badr itu orang-orang yang di cintainya telah terbunuh. Keberangkatan Quraisy dengan tujuan Madinah yang disiapkan dari Dar’n-Nadwa itu terdiri dari tiga Brigade. Brigade terbesar dipimpin oleh Talha b.  Abi Talha terdiri dari 3000 orang. Kecuali 100 orang saja dari Thaqif selebihnya semua dari makkah, dengan 200 pasukan berkuda dan 3000 unta, di antaranya 700 orang berbaju besi dan selebihnya dari barisan berjalan kaki. Masing-masing dibekali persenjataan dan persediaan perang yang amat lengkap dan sempurna.[2]
                 Setelah genap setahun, persiapan mereka benar-benar  sudah matang, pasukan Makkah mulai bergerak menuju Madinah. Hati mereka bergejolak karena dendam kusumat an kebencian yang ditahan-tahan sekian lama, siap diledakkan dalam peperangan yang dahsyat.[3]
                 Al-Abbas bin Abdul Mutholib yang masih menetap di Makkah terus memata-matai setiap tindakan Quraisy dan persiapan militer mereka, Setelah pasukan berangkat, maka Al-Abbas mengirim kabar surat kilat kepada Nabi Muhammad, berupa kabar secara rinci tentang pasukan Quraisy.
                 Secepat kilat utusan Al-Abbas pergi menyampaikan surat, Dia menyertakan surat itu tatkala beliau berada di masjid Quba’.Beliau menyuruh Ubay bin Ka’b untuk membacakan surat tersebut dan memerintahkan untuk merahasiakannya. Seketika itu pula beliau pergi ke Madinah, lalu mengadakan musyawarah dengan para pemuka muhajirin dan anshar. Madinah dalam keadaan siaga satu. Tak seorang pun lepas dari senjatanya. Sekalipun sedang sholat mereka tetap dalam keadaan siaga untuk menghadapi segala kemungkinan yang bakal terjadi. Ada sekumpulan Ansharr, seperti Sa’d bin Mu’adz, Usaid bin Hudhair dan Sa’d bin Ubadah yang senantiasa menjaga Raulullah mereka selalu berada di dekat pintu rumah beliau..
                 Pasukan Makkah meneruskan perjalanan, mengambil jalur utama ke arah barat menuju Madinah. Setiba di Abwa’, Hindun bin Uthbah, istri Abu Sufyan mengusulkan untuk menggali kuburan ibunda Rasulullah. Namun para komandan pasukan Quraisy menolak usulan ini. Kali ini mereka bersikap sangat hati-hati terhadap akibat yang harus dihadapi jika mereka berbuat seperti itu. Maka pasukan melanjutkan perjalan hingga mendekati Madinah. Mereka melewati Wadi Al-Aqiq, lalu membelok ke arah kanan hingga tiba di dekat bukit Uhud, di suatu tempat disebut Ainain, di sebelah utara madinah. Pasukan Quraisy mengambil tempat di sana pada hari jum’at tanggal 6 syawwal 3 H.
                 Kabar tentang pasukan  Makkah sampaikan terus-menerus di sampaikan mata-mata, termasuk kabar terakhir tentang tempat yang diambil pasukan Makkah. Saat itu Rasulullah sedang menggelar masjid permusyawaratan Militer, untuk menampung berbagai pendapat dan menetapkan sikap. Dalam kesempatan itu beliau juga menceritakan mimpi yang dialaminya. Beliau bersabda,’’Demi Allah, aku telah bermimipi bagus. Dalam mimpi itu kulihat beberapa ekor lembu yang yang disembelih, kulihat di mata pedangku rompal dan aku memasukkan tanganku ke dalam baju besi yang kokoh.
                 Beberapa ekor sapi itu dita’wali dengan beberapa orang para sahabat yang terbunuh, mata pedang beliau yang rompal dita’wili dengan anggota keluarga beliau yang tertimpa musibah dan baju besi dita’wili dengan madinah.
                 Dengan mimpinya itu beliau mengusulkan kepada para sahabat agar tidak perlu keluar dari madinah, cukup bertahan di madinah. Jika orang-orang musyrik ingin tetap bertahan di luar madinah tanpa mau melakukan serangan, biarlah mereka masuk ke madinah, maka orang-orang Muslim akan menyerbu mereka dari mulut-mulut gang dan para wanita melancarkan serangan dari atap-atap rumah. Inilah pendapat yang di sampaikan. Abdullah bin Ubay sangat menyetujui pendapat ini, yang saat itu dia juga ikut hadir dalam Majlis permusyawaratan sebagai wakil dari pemuka Khazraj. Dia menyetujui pendapat ini bukan karna faktor strategi perang, tetapi agar memungkinkan baginya untuk menjauhi peperangan tanpa mencolok mata dan dia bisa menyelinap tanpa di ketahui seorang pun. Namun Allah berkeinginan melecehkan dirinya dan rekan-rekannya di hadapan orang-orang muslim untuk pertama kalinya, dan menyingkap tabir yang di belakangnya ada kekufuran dan kemunafikan. Sehingga dalam kondisi yang sangat rawan itu orang-orang muslim bisa mengetahui ular-ular berbisa yang menyelinap di balik kesamar-samaran.
            Sekumpulan para sahabat yang tidak ikut serta dalam perang Badr sebelumnya, mengusulkan kepada Nabi agar keluar dari Madinah. Bahkan mereka sangat ngotot dengan usulannya ini, sehingga ada di antara mereka yang berkata, “Wahai Rosulullah, sejak dulu kami sudah mengharapkan hari seperti ini dan kami selalu berdo’a kepada Allah. Dia sudah menuntun kami dan tempat yang dituju sudah dekat. Keluarlah untuk menghadapi musuh kita, agar mereka tidak menganggap kita takut pada mereka.”
                 Di antara tokoh kelompok yang sangat berantusias ini adalah Hamzah bin Abdul Muthalib, yang pada perang Badr dia hanya menggantungkan pedangnya. Dia berkata kepada Beliau, “Demi yang menurunkan Ahli Kitab kepada engkau, aku tidak akan memberi makanan sehingga membabat mereka dengan pedangku di luar Madinah.”
                 Rasulullah mengabaikan pendapat Beliau sendiri karena mengikuti pendapat mayoritas. Maka di tetapkan untuk keluar dari Madinah dan bertempur di tempat terbuka.[4]Nabi mendirikan sholat jum’at dengan orang-orang muslim, sesudah sholat jum’at Rasulullah memberi kabar gembira bahwa kemenangan, Insyaallah, akan datang, asal saja mereka berjuang sungguh-sungguh dan sabar. Kaum muslimin pun di kerahkan bersiap dan Rasul sendiri masuk ke dalam rumahnya mengenakan baju besinya.
                 Tetapi sementara Rasul sedang berpakaian, rupanya, soal keluar atau tidak itu kembai di perkatakan. Sebagian di antaranya, Usaid bi Hudlair dan Sa’d bin Mu’az, menyesali mereka yang begitu keras meminta keluar sehingga Rasul sendiri terpaksa menurutkan; walaupun beliau sendiri berpendapat sebaiknya. Sebab itu, menurut usul Usaid bin Sa’d, supaya hal ini di pulangkan saja kembali kepada pilihan dan keputusan Rasulullah.
                 Perkataan atau usul Usaid dan Sa’d ini termasuk di dalam pikiran para sahabat semuanya, malah bagian dari mereka meyesal dan merasa jangan-jangan tuntutan mereka seperti itu hanya menyebabkan mereka berdosa atau durhaka. Oleh karena itu tatkala Rasul keluar dengan mengenakan baju besinya dan menyandang pedangnya mereka lalu memohon dan berkata: “Hai Rasulullah, kami tidak hendak membantah keinginanmu dan tidak pula memaksa engkau melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kehendakmu sendiri: hal ini kami pulangkan kepada engkau kembali, kepada Allah dan Rasulnya tetapkanlah apa yang kau lihat baik; dan kami semua akan turut dan taat !” “Sudah ku nyatakan pertimbanganku, jawab Rasul dengan tenang, seorang nabi apabila telah mengenakan baju besinya dan menyandang pedangnya, tidak harus menanggalkannya lagi sampai Allah memberikan putusannya; sekarang perhatikan saja segala yang saya perintahkan dengan demikian, insyaallah, kemenangan di pihak kita, asal kamu semua tahan dan sabar !’’[5]
            Didalam tindakan Rasulullah ini sesungguhnya terkandung suri pengajaran yang sangat tinggi sebagai pedoman hidup bermusyawarat. Apabila sesuatu masalah yang di bahas telah di terima dengan suara terbanyak, maka hal itu tak dapat di batalkan oleh sesuatu keinginan atau karena ada maksut tertentu. Sebaliknya ia harus dilaksanakan, tapi orang yang akan melaksanakannya harus pula dengan cara yang sebaik-baiknya dan diarahkan ke suatu sasaran yang akan mencapai sukses.
                 Sekarang Muhammad berangkat memimpin kaum Muslimin menuju Uhud. Di syaikhan ia berhenti. Dilihatnya di tempat itu ada sepasukan tentara yang identitasnya belum dikenal. Ketika ditanyakan, kemudian di peroleh keterangan bahwa mereka itu orang-orang yahudi sekutu Abdullah bin Ubay. Lalu kata Nabi, “jangan minta pertolongan orang-orang musyrik dalam melawan orang musyrik, sebelum mereka masuk Islam.
                 Dalam pada itu orang-orang yahudi pun kembali ke madinah. Lalu kata sekutu Ibn ubayy itu: “Kau sudah menasehatinya dan sudah kau berikan pendapatmu berdasaran pengalaman orang-orang tua dahulu. Sebenarnya dia sependapat dengan kau. Lalu dia menolak dan menuruti kehendak pemuda-pemuda yang menjadi pengikutnya.’’
                 Ia berbalik menggabungkan diri dengan pasukan teman-temannya itu, Tinggal lagi Nabi dengan orang-orang yang benar-benar beriman, yang berjumlah 700 orang, akan berperang menghadapi 3000 orang terdiri ari orang-orang Quraisy Makkah, yang kesemuanya sudah memikul dendam yang tak terpenuhi  ketika di Badr.


[1] Muhammad Zakariya, Ta’lim fadhail a’maal. (cirebon: Pustaka Nabawi,1993 ) hlm. 286.
[2] http;/sejarah nabi/net/2010/babxv/perang uhud/htm (diakses, tgl 11 november 2012)
[3] Syaikh Shafiyyur Rahman Al-Mubarakfury,Sirah Nabawi.(jakarta timur; Pustaka Al-Kautsar,2009) hlm. 281.
[4] Ibid  hlm.283
[5] H. Rus’an, Lintasan Sejarah Islam. (Singapura; Pustaka Nasional Pte Ltd Suite,1982) hlm. 140

Klik Dibawah Ini Untuk Menambah Wawasan Anda
Baca Juga Yang Ini, Seru Loo!!
Share this article :

إرسال تعليق

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. ilmu ngawor tepak - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger