PENGARUH YUNANI TERHADAP ISLAM

الأحد، 3 مارس 20130 komentar



PENGARUH  YUNANI TERHADAP ISLAM

Filsafat Yunani mulai berpengaruh dikalangan ilmuan muslim pada masa pemerintahan Bani Umayyah, yang mana metode-metode berpikir yang digunakan oleh filosof yunani memberikan motifasi bagi ilmuwan muslim untuk lebih banyak berkarya dalam kemajuan pendidikan islam  sehingga muncul ilmuan seperti jabir ibbnu hayyan, Al-khindi, Al- razi, Al-khawarizmi, Al-farobi, ibnu umar khayyan, ibnu rusydi dan sebagainya,melalui merekalah pengetahuan islam telah melakukan infestigasi dalam ilmu ke dokteran, teknologi, matematika, geografi dan bahkan sejarah.[1]
 Namun Puncak perkembangan dan kebudayaan yunani dalam  pemikiran Islam terjadi pada masa pemerinthan Bani Abbasiyah. Akan tetapi, bukan berarti seluruhnya berawal dari kreatifitas penguasa Bani Abbasiyah  sendiri. Sebagian di antaranya sudah dimulai sejak awal kebangkitan Islam, misalnya Dalam bidang pendidikan, diawal Islam lembaga pendidikan sudah mulai berkembang. Ketika itu, lembaga pendidikan terdiri dari dua tingkat Maktab/kuttab dan masjid, yaitu lembaga pendidikan  rendah, tempat anak-anak mengenal dasar-dasar bacaan, hitungan dan tulisan,sedangkan masjidnya adalah tempat para remaja belajar dasar-dasar ilmu agama, seperti tafsir, hadits , fiqh dan bahasa, setelah  Dinasti Abbasiyah memegang kekuasaan Islam, mulailah di dalam Islam terjadi  transformasi ilmu secara besar besaran. Hal ini dilakukan dengan adanya penerjemahan berbagai buku peninggalan Yunani ke dalam bahasa Arab,terutama dalam bidang kedokteran dan filsafat,yang mana periode ini terdapat dalam tiga bagian:
Periode pertama
 Masa kekhalifahan al-Manshur sampai akhir masa Harun al-Rasyid  Pada masa inilah mulai diterjemahkannya berbagai buku seperti Kalila wa Dimnah dari mitologi Persia, Sinbad dari India dan buku-buku logika (manthiq) Aristoteles. Di antara para penerjemah yang sangat terkenal saat itu adalah Ibn al-Muqaffa’, Jorjias bin Jibril dan Yohana.Pada periode inilah aliran Islam yang ````sangat rasional (Mu’tazilah) mulai bersentuhan langsung dengan buku-buku filsafat Yunani. Hal ini disebabkan banyaknya para teolog Kristen dan Yahudi yang menggugat dasar-dasar aqidah Islam dengan menggunakan filsafat Yunani. Oleh sebab itu, teologi Mu’tazilah yang semenjak awal kelahirannya sangat rasional, seolah-olah mendapatkan tenaga baru untuk mengembangkan sistem pemikirannya, dan pada saat itulah mereka mulai banyak mengenal  terminologi-terminologi  filsafat Yunani seperti substansi (jauhar) dan ‘aradl yang  banyak digunakan dalam teori-teori kalam.
Periode kedua
 periode al-Ma’mun, yaitu dari tahun 198 sampai 300 H.Al-ma’mun kholifah yang banyak berjasa dalam menerjemahkan karya-karya yunani, yang dibaca oleh karya ilmuan muslim ini memberikan motifasi untuk menggunakan logika dalam membahas ajaran islam dan mengembangkan serta menemukan berbagai macam ilmu pengetahuan yang baru, Di antara para penerjemah periode ini adalah Yahya al-Bithriq, Hajjaj bin Yusuf, Qastha bin Luqa, Abdul Masih bin Na’imah, Hunain ibn Ishhak, Ishaq bin Hunain Tsabit ibn al-Qurrah serta Hubaisy al-A’syam. Pada periode ini, penerjemahan buku-buku filsafat mulai mendapatkan porsi yang lebih besar daripada kedokteran,.
Periode ketiga
periode ketiga adalah periode paska al-Makmun yang memunculkan beberapa penerjemah handal seperti Mata bin Yunus, Sannan bin Tsabit, Yahya bin Adi, Ibn Zur’ah. Pada periode inipun, yang mendapatkan porsi terbesar adalah penerjemahan buku-buku filsafat, terutama karya-karya Aristoteles.
Faktor-Faktor Pendorong Penerjemahan  Secara Besar-Besaran 
Pertama, selama dinasti Umayyah, kemajuan intelektual umat Islam cenderung datar, padahal saat itu Islam sudah masuk ke luar Arab. Oleh sebab itu, pada zaman dinasti Abbasiyah mulai disadari arti pentingnya ilmu-ilmu baru yang telah dikembangkan masyarakat non-Arab.
Kedua, pada masa-masa akhir Dinasti Umayyah, pemikiran keagamaan umat Islam sudah melonjak jauh, sehingga banyak di antara mereka yang mulai mempersoalkan makna takdir pada perbuatan manusia. Di antara mereka ada yang terjebak ke dalam kubu fatalisme esktrim atau free will (qadariyah); ada juga yang masih moderat (ikhtiyariyah). Pada situasi inilah umat Islam mulai banyak berpolemik, baik antar mereka sendiri maupun dengan para teolok nasroni dan yahudi 
Ketiga adalah terdapatnya kecenderungan para khalifah Abbasiyah seperti al-Manshur, Harun al-Rasyid dan al-Ma’mun terhadap ilmu-ilmu rasional dan filsafat.
Perbedaan gerakan terjemahan yang dilakukan pada masa Dinasti Umayah dan Abbasiyah adalah:
Pertama: bahwa pada masa Dinasti Umayyah, gerakan terjemahan dilakukan secara individual sedangkan pada masa Dinasti Abbasiyah dilakukan atas instruksi negara.
Kedua:pada masa Dinasti Umayyah terjemahan masih terbatas pada ilmu-ilmu kedokteran dan astronomi, sedangkan pada masa Abbasiyah diarahkan pada penerjemahan filsafat.
Pengaruh Fisafat Yunani Terhadap Ilmu Kalam
Menurut Noorcholish Madjid, ada dua corak filsafat Yunani dalam dunia Islam, yakni: Neoplatonisme dan Aristotelianisme.
Neoplatonisme pembahasannya cenderung mystis,Neoplatonisme melahirkan sufisme yang juga di pengaru            hi oleh peradaban Persia dan india.
Aristotelianisme cenderung rasional. Dan pengaruh Aristotelianisme cukup kuat dalam perkembangan ilmu kalam, seperti diwakili oleh Mu’tazilah, Syi’ah, Asy’ariyah dan Maturidiyah.
Corak utama pengaruh filsafat Yunani dalam kaitannya dengan pertumbuhan dan perkembangan ilmu kalam adalah penggunaan logika (mantiq) sebagai dalil kedua setelah nash, di dalam memaknai aqidah dengan segala rangkaiannya. Pandangan para teolog muslim dalam dalil aqli banyak terinspirasi oleh buku karangan Plato yang berjudul “Timaeus.” Mereka hanya mengambil unsur-unsur inti dari buku karangan plato yang mencerminkan ruh pemikiran Yunani kemudian mencampurnya dengan unsur-unsur ketimuran. Al-Qadli Abd.[2] Jabbar, misalnya. Dalam salah satu uraiannya tentang al-Ushul al-Khomsah dia berkata: “…jika sudah jelas bahwa al-ajsam (hal-hal yang menempati ruang dan waktu) adalah hadits (baru), maka harus ada yang menciptakannya. Pencipta itu tidak lain adalah Allah, Al-Qadli Abd[3]. Jabbar dalam uraiannya  di atas telah menggunakan bahasa (baca, cara) Plato, bukti bahwa argumen semacam itu juga telah dipakai oleh Plato dalam buku ‘Timaeus’
Al-Quran juga telah menyebutkan penggunaan akal merupakan suatu keharusan dalam menjalani kehidupan ini, baik kehidupan lahir maupun batin (baca, keyakinan). Allah berfirman: Katakan! (hai Muhammad) renungkanlah apa yang ada di langit dan di bumi. (QS Yunus, ayat 101). Berdasarkan Fakta di atas maka adalah suatu yang wajar jika teologi ini harus menggunakan dalil-dalil aqli.
Dalil aqli merupakan kebalikan dari -dalil naqli. Jika dalil naqli bertolak dari sikap pasrah dan menerima secara mutlak terhadap nash yang dipergunakan sebagai dalil, maka dalil aqli diawali oleh akal yang berpegang pada argumen dan fakta. Akal akan mampu mencapai pemahaman pada Nash sebagaimana ia mampu mengatasi problem penafsiran leksikal atau materialistis. Akal adalah ‘pewaris wahyu.’ Ketika wahyu sudah sempurna, maka akal adalah ‘evolusi’ atas wahyu tersebut. Ketika Nash menjadi argumen aqli yang berdiri sendiri hingga kekuatan Nash tersebut tercermin dalam argumen aqli yang mengungkapkannya, maka argumen aqli itu akan dapat menyentuh nurani dan akan menuju pada  ruh keharmonisan logis. Dari sinilah kemudian lahir berbagai tokoh teolog dan filosof Islam yang saling berlomba mengemukakan berbagai konsepsinya tentang ilmu kalam dengan berbagai argumentasinya. Berbagai diskusi bergulir dari satu tema ke tema yang lainnya, mulai dari wujud Tuhan (qadim-hadits, transenden-imanen), sifat-sifatNya (wajib, mustahil, mungkin), af’alNya (sabda, keadilan, dst), kekuatan akal dan wahyu, posisi dan fungsi manusia, sampai kepada persoalan eskatologis (surga, neraka, dst) Sebagai contoh, kita akan mengangkat bagaimana Ibn Sina berusaha membuktikan bahwa Tuhan benar-benar ada. Dalam al-Isyarat, ia menjelaskan hal ini dengan sangat sistematis. Pertama ia menjelaskan bagaimana pemikiran kaum positivis yang menafikan wujud Tuhan serta argumen-argumennya. Setelah itu, ia membantah argumen kaum positivis dengan argumen yang biasa mereka gunakan. Seperti kita ketahui, kaum positivis tidak mau menerima adanya realitas di luar yang dapat kita persepsi melalui indra. Dengan argumentasi ini, Ibn Sina mulai membuktikan bahwa terdapat wujud di luar materi. Setelah itu, Ibn Sina melanjutkan dengan menjelaskan bahwa wujud di luar materi tersebut yang paling utama adalah Sang penyebab pertama yang darinya berangkai berbagai sebab. Di sinilah ia membuktikan bagaimana Tuhan menjadi penyebab utama (al-Ilah al-Ula).


[1] Suwito DAN Fauzan, Sejarah Sosial Pendidikan Islam, (Jakarta : Prenada Media, 2005)

[2] Dinasti Abbasiyah, http://islamnon-violence.org/id/dinasti-abbasiyah/, tgl. 5-11-2008
[3] http://pai-smpn21padang.blogspot.com/2008/07/daulah-abbasiyah_02.html, tgl. 5-11-2008

Klik Dibawah Ini Untuk Menambah Wawasan Anda
Baca Juga Yang Ini, Seru Loo!!
Share this article :

إرسال تعليق

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. ilmu ngawor tepak - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger