SEJARAH ISLAM DI ACEH
Secara
historis sosiologis, masuk dan berkembangnya Islam ke Indonesia sangat
kompleks. Terdapat banyak permasalahan yang terkait dengannya, misalnya dari
mana asal Islam yang masuk ke Indonesia, siapa yang membawa, apa latar
belakangnya danbagaimana dinamikanya, baik dari segi ajaran Islam maupun
pemeluknya.
Kompleksitasini
menjadi lebih rumit, ketika dihadapkan pada realitas Islam yang masuk dan
diterimaoleh bangsa Indonesia. Padahal Indonesia merupakan identitas negara
kesatuan yang terdiridari berbagai daerah yang tentunya masing-masing
daerah memiliki kekhasan tersendiri.Di Aceh, misalnya, menurut sebagian
pendapat, Islam telah masuk ke Aceh sejak abad pertama Hijriah (ke-7 atau
8 M), seperti dikemukakan oleh Hamka, namun ia menjadisebuah agama populis pada
abad kesembilan seperti pendapat Ali Hasjmy atau
menjadisebuah kekuasaan pada abad ke-13 M seperti pendapat para orientalis,
Snouck Hourgronje,misalnya. Akan
tetapi sebelum penetrasi Islam ke wilayah ini, agama Hindu atau lainnyatelah eksis,
bahkan situs peninggalannya masih dapat kita temui. Gavin W. Jonesmenyatakan
bahwa menjelang abad kedelapan Masehi, Hinduisme dan Budhisme telah adadi pulau
Sumatera dan Jawa. Bahkan pernah ada kerajaan besar di Sumatera.
Masuk dan Berkembangnya Islam di Aceh
Hampir
semua ahli sejarah menyatakan bahwa dearah Indonesia yang mula-mula di masuki
Islam ialah daerah Aceh. Berdasarkan kesimpulan seminar tentang masuknya Islam
ke Indonesia yang berlangsung di Medan pada tanggal 17 – 20 Maret 1963,
yaitu:
- Islam
untuk pertama kalinya telah masuk ke Indonesia pada abad ke-7 M, dan langsung dari Arab.
- Daerah
yang pertama kali didatangi oleh Islam adalah pesisir Sumatera, adapun kerajaan
Islam yang pertama adalah di Pasai.
- Dalam
proses pengislaman selanjutnya, orang-orang Islam Indonesia ikut aktif
mengambil peranan dan proses penyiaran Islam dilakukan secara damai.
- Keterangan
Islam di Indonesia, ikut mencerdaskan rakyat dan membawa peradaban yang tinggi
dalam membentuk kepribadian bangsa Indonesia.[1]
Masuknya
Islam ke Indonesia ada yang mengatakan dari India, dari Persia, atau dari Arab.[2]
Dan jalur yang digunakan adalah:
a.
Perdagangan, yang mempergunakan sarana pelayaran
b.
Dakwah, yang dilakukan oleh mubaligh yang
berdatangan bersama para pedagang, para mubaligh itu bisa dikatakan sebagai
sufi pengembara.
c.
Perkawinan, yaitu perkawinan antara pedagang muslim,
mubaligh dengan anak bangsawan Indonesia, yang menyebabkan terbentuknya inti
sosial yaitu keluarga muslim dan masyarakat muslim.
d.
Pendidikan. Pusat-pusat perekonomian itu
berkembang menjadi pusat pendidikan dan penyebaran Islam.
e.
Kesenian. Jalur yang banyak sekali
dipakai untuk penyebaran Islam terutama di Jawa adalah seni.
Bentuk agama Islam itu sendiri mempercepat
penyebaran Islam, apalagi sebelum masuk ke Indonesia telah tersebar terlebih
dahulu ke daerah-daerah Persia dan India, dimana kedua daerah ini banyak
memberi pengaruh kepada perkembangan kebudayaan Indonesia. Dalam
perkembangan agama Islam di daerah Aceh, peranan mubaligh sangat besar, karena
mubaligh tersebut tidak hanya berasal dari Arab, tetapi juga Persia, India,
juga dari Negeri sendiri.
Ada dua
faktor penting yang menyebabkan masyarakat Islam mudah berkembang di Aceh,
yaitu:
a.
Letaknya sangat strategis dalam hubungannya
dengan jalur Timur Tengah dan Tiongkok.
b.
Pengaruh Hindu – Budha dari Kerajaan Sriwijaya di
Palembang tidak begitu berakar kuat dikalangan rakyat Aceh, karena jarak antara
Palembang dan Aceh cukup jauh.[3]
Sedangkan Hasbullah mengutip pendapat Prof. Mahmud Yunus,
memperinci faktor-faktor yang menyebabkan Islam dapat cepat tersebar di seluruh
Indonesia[4],
antara lain:
a.
Agama Islam tidak sempit dan berat melakukan
aturan-aturannya, bahkan mudah ditiru oleh segala golongan umat manusia, bahkan
untuk masuk agama Islam saja cukup dengan mengucap dua kalimah syahadat
saja.
b.
Sedikit tugas dan kewajiban Islam
c.
Penyiaran Islam itu dilakukan dengan cara
berangsur-angsur sedikit demi sedikit.
d.
Penyiaran Islam dilakukan dengan cara
bijaksana.
e.
Penyiaran Islam dilakukan dengan perkataan
yang mudah dipahami umum, dapat dimengerti oleh golongan bawah dan golongan
atas.
Konversi
massal masyarakat Nusantara kepada Islam pada masa perdagangan terjadi karena
beberapa sebab[5],
yaitu:
a.
Portilitas (siap pakai) sistem keimanan Islam.
b.
Asosiasi Islam dengan kekayaan. Ketika penduduk
pribumi Nusantara bertemu dan berinteraksi dengan orang muslim pendatang di
pelabuhan, mereka adalah pedagang yang kaya raya. Karena kekayaan dan kekuatan
ekonomi, mereka bisa memainkan peranan penting dalam bidang politik dan
diplomatik.
c.
Kejayaan militer. Orang muslim dipandang perkasa
dan tangguh dalam peperangan.
d.
Memperkenalkan tulisan. Agama Islam
memperkenalkan tulisan ke berbagai wilayah Asia Tenggara yang sebagian besar
belum mengenal tulisan.
e.
Mengajarkan penghapalan Al-Qur’an.
Hapalan menjadi sangat penting bagi penganut baru, khususnya untuk kepentingan
ibadah, seperti sholat.
f.
Kepandaian dalam penyembuhan. Tradisi tentang
konversi kepada Islam berhubungan dengan kepercayaan bahwa tokoh-tokoh Islam
pandai menyembuhkan. Sebagai contoh, Raja Patani menjadi muslim setelah
disembuhkan dari penyakitnya oleh seorang Syaikh dari Pasai.
g.
Pengajaran tentang moral. Islam menawarkan
keselamatan dari berbagai kekuatan jahat dan kebahagiaan di akhirat
kelak.
Melalui
faktor-faktor dan sebab-sebab tersebut, Islam cepat tersebar di seluruh
Nusantara sehingga pada gilirannya nanti, menjadi agama utama dan mayoritas
negeri ini.
Pusat Keunggulan Pengkajian Islam Pada Tiga Kerajaan Islam di Aceh.
Pusat Keunggulan Pengkajian Islam Pada Tiga Kerajaan Islam di Aceh.
Zaman
Kerajaan Samudra Pasai
Kerajaan
Islam pertama di Indonesia adalah kerajaan Samudra Pasai, yang didirikan pada
abad ke-10 M dengan raja pertamanya Malik Ibrahim bin Mahdum. Yang kedua
bernama Al-Malik Al-Shaleh dan yang terakhir bernama Al-Malik Sabar Syah (tahun
1444 M/ abad ke-15 H). [6]
Pada tahun 1345, Ibnu Batutah dari Maroko sempat singgah
di Kerajaan Pasai pada zaman pemerintahan Malik Az-Zahir, raja yang terkenal
alim dalam ilmu agama dan bermazhab Syafi’i, mengadakan pengajian sampai waktu
sholat Ashar dan fasih berbahasa Arab serta mempraktekkan pola hidup yang
sederhana.[7]
Keterangan Ibnu Batutah tersebut dapat ditarik
kesimpulan pendidikan yang berlaku di zaman kerajaan Pasai sebagai berikut:
a.
Materi pendidikan dan pengajaran agama bidang syari’at
adalah Fiqh mazhab Syafi’i
b.
Sistem pendidikannya secara informal berupa majlis ta’lim
dan halaqoh
c.
Tokoh pemerintahan merangkap tokoh agama
d.
Biaya pendidikan bersumber dari negara.[8]
Pada zaman kerajaan Samudra Pasai mencapai kejayaannya
pada abad ke-14 M, maka pendidikan juga tentu mendapat tempat tersendiri. Mengutip
keterangan Tome Pires, yang menyatakan bahwa “di Samudra Pasai banyak terdapat
kota, dimana antar warga kota tersebut terdapat orang-orang berpendidikan”.[9]
Menurut
Ibnu Batutah juga, Pasai pada abad ke-14 M, sudah merupakan pusat studi Islam
di Asia Tenggara, dan banyak berkumpul ulama-ulama dari negara-negara Islam.
Ibnu Batutah menyatakan bahwa Sultan Malikul Zahir adalah orang yang cinta
kepada para ulama dan ilmu pengetahuan. Bila hari jum’at tiba, Sultan
sembahyang di Masjid menggunakan pakaian ulama, setelah sembahyang mengadakan
diskusi dengan para alim pengetahuan agama, antara lain: Amir Abdullah dari
Delhi, dan Tajudin dari Ispahan. Bentuk pendidikan dengan cara diskusi disebut
Majlis Ta’lim atau halaqoh. Sistem halaqoh yaitu para murid mengambil posisi
melingkari guru. Guru duduk di tengah-tengah lingkaran murid dengan posisi
seluruh wajah murid menghadap guru.
Kerajaan
Perlak
Kerajaan
Islam kedua di Indonesia adalah Perlak di Aceh. Rajanya yang pertama Sultan
Alaudin (tahun 1161-1186 H/abad 12 M). Antara Pasai dan Perlak terjalin kerja
sama yang baik sehingga seorang Raja Pasai menikah dengan Putri Raja Perlak.
Perlak merupakan daerah yang terletak sangat strategis di Pantai Selat Malaka,
dan bebas dari pengaruh Hindu.[10]
Kerajaan
Islam Perlak juga memiliki pusat pendidikan Islam Dayah Cot Kala. Dayah
disamakan dengan Perguruan Tinggi, materi yang diajarkan yaitu bahasa Arab,
tauhid, tasawuf, akhlak, ilmu bumi, ilmu bahasa dan sastra Arab, sejarah dan
tata negara, mantiq, ilmu falaq dan filsafat. Daerahnya kira-kira dekat Aceh
Timur sekarang. Pendirinya adalah ulama Pangeran Teungku
Chik M.Amin, pada akhir abad ke-3 H, abad 10 M. Inilah pusat pendidikan
pertama.
Rajanya
yang ke enam bernama Sultan Mahdum Alaudin Muhammad Amin yang memerintah antara
tahun 1243-1267 M, terkenal sebagai seorang Sultan yang arif bijaksana lagi
alim. Beliau adalah seorang ulama yang mendirikan Perguruan Tinggi Islam yaitu
suatu Majlis Taklim tinggi dihadiri khusus oleh para murid yang sudah alim.
Lembaga tersebut juga mengajarkan dan membacakan kitab-kitab agama yang
berbobot pengetahuan tinggi, misalnya kitab Al-Umm karangan Imam Syafi’i.[11] Dengan
demikian pada kerajaan Perlak ini proses pendidikan Islam telah berjalan cukup
baik.
Kerajaan
Aceh Darussalam
Proklamasi
kerajaan Aceh Darussalam adalah hasil peleburan kerajaan Islam Aceh di belahan
Barat dan Kerajaan Islam Samudra Pasai di belahan Timur. Putra Sultan Abidin
Syamsu Syah diangkat menjadi Raja dengan Sultan Alaudin Ali Mughayat Syah
(1507-1522 M).
Bentuk
teritorial yang terkecil dari susunan pemerintahan Kerajaan Aceh adalah Gampong
(Kampung), yang dikepalai oleh seorang Keucik dan Waki (wakil). Gampong-gampong
yang letaknya berdekatan dan yang penduduknya melakukan ibadah bersama pada
hari jum’at di sebuah masjid merupakan suatu kekuasaan wilayah yang disebut
mukim, yang memegang peranan pimpinan mukim disebut Imeum mukim.[12]
Jenjang
pendidikan yang ada di Kerajaan Aceh Darussalam diawali pendidikan terendah
Meunasah (Madrasah). Yang berarti tempat belajar atau sekolah, terdapat di
setiap gampong dan mempunyai multi fungsi antara lain:
- Sebagai tempat belajar Al-Qur’an
- Sebagai Sekolah Dasar, dengan materi
yang diajarkan yaitu menulis dan membaca huruf Arab, Ilmu agama, bahasa Melayu,
akhlak dan sejarah Islam.
Fungsi lainnya adalah sebagai berikut:
a.
Sebagai tempat ibadah sholat 5 waktu untuk kampung
itu.
b.
Sebagai tempat sholat tarawih dan tempat membaca
Al-Qur’an di bulan puasa.
c.
Tempat kenduri Maulud pada bulan Mauludan.
d.
Tempat menyerahkan zakat fitrah pada hari menjelang Idhul
Fitri atau bulan puasa
e.
Tempat mengadakan perdamaian bila terjadi sengketa antara
anggota kampung.
f.
Tempat bermusyawarah dalam segala urusan
g.
Letak meunasah harus berbeda dengan letak rumah, supaya
orang segera dapat mengetahui mana yang rumah atau meunasah dan mengetahui arah
kiblat sholat.
Selanjutnya sistem pendidikan di Dayah (Pesantren)
seperti di Meunasah tetapi materi yang diajarkan adalah kitab Nahu, yang
diartikan kitab yang dalam Bahasa Arab, meskipun arti Nahu sendiri adalah tata
bahasa (Arab). Dayah biasanya dekat masjid, meskipun ada juga di dekat Teungku
yang memiliki dayah itu sendiri, terutama dayah yang tingkat pelajarannya sudah
tinggi. Oleh karena itu orang yang ingin belajar nahu itu tidak dapat belajar
sambilan, untuk itu mereka harus memilih dayah yang agak jauh sedikit dari
kampungnya dan tinggal di dayah tersebut yang disebut Meudagang. Di dayah
telah disediakan pondok-pondok kecil mamuat dua orang tiap rumah. Dalam buku
karangan Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, istilah Rangkang
merupakan madrasah seringkat Tsanawiyah, materi yang diajarkan yaitu bahasa
Arab, ilmu bumi, sejarah, berhitung, dan akhlak. Rangkang juga diselenggarakan
disetiap mukim.[13]
Bidang
pendidikan di kerajaan Aceh Darussalam benar-benar menjadi perhatian. Pada saat
itu terdapat lembaga-lembaga negara yang bertugas dalam bidang pendidikan dan
ilmu pengetahuan yaitu:
a.
Balai Seutia Hukama, merupakan lembaga ilmu pengetahuan,
tempat berkumpulnya para ulama, ahli pikir dan cendikiawan untuk membahas dan
mengembangkan ilmu pengetahuan.
b.
Balai Seutia Ulama, merupakan jawatan pendidikan yang
bertugas mengurus masalah-masalah pendidikan dan pengajaran.
c.
Balai Jama’ah Himpunan Ulama, merupakan kelompok studi
tempat para ulama dan sarjana berkumpul untuk bertukar fikiran membahas
persoalan pendidikan dan ilmu pendidikannya.
Aceh pada saat itu merupakan sumber ilmu pengetahuan
dengan sarjana-sarjanaya yang terkenal di dalam dan luar negeri. Sehingga
banyak orang luar datang ke Aceh untuk menuntut ilmu, bahkan ibukota Aceh
Darussalam berkembang menjadi kota Internasional dan menjadi pusat pengembangan
ilmu pengetahuan.
Kerajaan Aceh telah menjalin suatu hubungan persahabatan
dengan kerajaan Islam terkemuka di Timur Tengah yaitu kerajaan Turki. Pada
masa itu banyak pula ulama dan pujangga-pujangga dari berbagai negeri Islam
yang datang ke Aceh. Para ulama dan pujangga ini mengajarkan ilmu agama Islam
(Theologi Islam) dan berbagai ilmu pengetahuan serta menulis bermacam-macam kitab
berisi ajaran agama. Karenanya pengajaran agama Islam di Aceh menjadi penting
dan Aceh menjadi kerajaan Islam yang kuat di nusantara. Diantara para ulama dan
pijangga yang pernah datang ke kerajaan Aceh antara lain Muhammad Azhari yang
mengajar ilmu Metafisika, Syekh Abdul Khair Ibn Syekh Hajar ahli dalam bidang
pogmatic dan mistik, Muhammad Yamani ahli dalam bidang ilmu usul fiqh dan Syekh
Muhammad Jailani Ibn Hasan yang mengajar logika.[14]
Tokoh
pendidikan agama Islam lainnya yang berada di kerajaan Aceh adalah Hamzah
Fansuri. Ia merupakan seorang pujangga dan guru agama yang terkenal dengan
ajaran tasawuf yang beraliran wujudiyah. Diantara karya-karya Hamzah Fansuri
adalah Asrar Al-Aufin, Syarab Al-Asyikin, dan Zuiat Al-Nuwahidin. Sebagai
seorang pujangga ia menghasilkan karya-karya, Syair si burung pungguk, syair
perahu.
Ulama
penting lainnnya adalah Syamsuddin As-Samathrani atau lebih dikenal dengan
Syamsuddin Pasai. Ia adalah murid dari Hamzah Fansuri yang mengembangkan paham
wujudiyah di Aceh. Kitab yang ditulis, Mir’atul al-Qulub, Miratul Mukmin dan
lainnya.
Ulama
dan pujangga lain yang pernah datang ke kerajaan Aceh ialah Syekh Nuruddin
Ar-Raniri. Ia menentang paham wujudiyah dan menulis banyak kitab mengenai agama
Islam dalam bahasa Arab maupun Melayu klasik. Kitab yang terbesar dan tertinggi
mutu dalam kesustraan Melayu klasik dan berisi tentang sejarah kerajaan Aceh adalah
kitab Bustanul Salatin.
Pada masa kejayaan kerajaan Aceh, masa Sultan
Iskandar Muda (1607-1636) oleh Sultannya banyak didirikan masjid sebagai tempat
beribadah umat Islam, salah satu masjid yang terkenal Masjid Baitul Rahman,
yang juga dijadikan sebagai Perguruan Tinggi dan mempunyai 17 daars (fakultas).
Dengan melihat banyak para ulama dan pujangga yang datang
ke Aceh, serta adanya Perguruan Tinggi, maka dapat dipastikan bahwa kerajaan
Aceh menjadi pusat
studi Islam. Karena faktor agama Islam merupakan salah satu faktor yang sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat Aceh pada periode berikutnya. Menurut B.J. Boland, bahwa seorang Aceh adalah seorang Islam.[15]
studi Islam. Karena faktor agama Islam merupakan salah satu faktor yang sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat Aceh pada periode berikutnya. Menurut B.J. Boland, bahwa seorang Aceh adalah seorang Islam.[15]
[1] Taufik
Abdullah, 1983: 5
[2] Musrifah, 2005: 10-11
[3] A.Mustofa, Abdullah, 1999: 53
[4] Hasbullah, 2001: 19-20
[5] Musrifah,
2005: 20-21
[6] Mustofa
Abdullah, 1999: 54
[7] Zuhairini,et.al, 2000: 135
[9] M.Ibrahim,
et.al, 1991: 61
[10] Hasbullah,
2001: 29
[11] A.Mustofa,
Abdullah, 1999: 54
[12] M.
Ibrahim, et.al., 1991: 75
[13] Hasbullah,
2001: 32
[14] M.Ibrahim,et.al.,
1991: 88
[15] M.Ibrahim,et.al.,
1991: 89
Klik Dibawah Ini Untuk Menambah Wawasan Anda
Baca Juga Yang Ini, Seru Loo!!
إرسال تعليق